BAB 2 _ BACA SEBELUMNYA
Permainan engklek dimulai saat pemain melempar potongan batu (gaco) pada kotakan pertama. Kemudian pemain melompat ke kotak-kotak berikutnya dengan satu kaki dan melewati kotak yang berisi gaco tersebut. Setelah itu, pemain kembali ke kotak pertama untuk mengambil gaconya. Selanjutnya ia melempar gaco ke kotak kedua, ketiga, dan seterusnya. Jika ia terjatuh atau kakinya menginjak salah satu garis, ia gagal dan giliran temannya yang bermain. Setelah semua kotak terlewati, ia melempar gaco ke lingkaran. Selain permainan ini, terkadang anak-anak perempuan juga bermain lompat tali.
Anak laki-laki kerap bermain "Arab dan Yahudi". Mereka terbagi menjadi dua tim dan bermain tembak-tembakan. Setiap tim membawa bilahan kayu atau kayu berbentuk senapan yang mereka tembakkan satu sama lain. Pertengkaran sering terjadi karena mereka berebut untuk "menembak" lebih dulu, namun biasanya orang dewasa atau anak laki-laki yang berpengaruh kuat akan menentukan siapa saja anggota tim dan memastikan kemenangan bagi tim Arab.
Sebulan sekali, kakek pergi ke pusat bantuan pangan menerima suplai untuk keluarga kami dan keluarga Paman. Dia membawa kartuku, kartu milik keluargaku dan semua kartu anggota keluarga Paman. Kakek akan pergi hingga sore hari dan kembali bersama rombongan pria dan wanita. Di depan mereka berjalan sebuah gerobak yang ditarik oleh seekor keledai, penuh dengan karung tepung, minyak goreng dan beberapa keranjang berisi kacang-kacangan seperti buncis dan miju-miju. Ketika gerobak itu tiba di depan rumah kami, anak-anak mulai berlompatan ingin menaikinya. Kusir lalu berteriak dan menghalau dengan tongkat panjangnya sehingga mereka menjauh. Setelah benar berhenti, dengan sigap kusir menurunkan barang-barang kami sesuai arahan kakek. Kakek menunjuk beberapa barang yang harus diturunkan untuk diangkut masuk ke rumah. Kakek memberi kusir itu uang dari kantong kain yang ia keluarkan dari saku bajunya. Lantas kusir menerima dan memasukkannya ke dalam tas sambil berkata, "Barakallah..." Setelah itu, dia menarik keledainya pergi. Anak-anak kembali berlarian mengikuti gerobak itu, namun orang-orang dewasa mencoba mencegah mereka.
Ibuku sering membawa adiku, Maryam, untuk pergi ke klinik kesehatan di pinggir kamp pengungsian. Dia diperiksa dan ditimbang di departemen perawatan ibu dan anak. Sejumlah besar wanita bersama anak-anak mereka juga nampak berkumpul untuk melakukan hal yang serupa. Para wanita ada yang duduk menunggu di bangku aula dan sebagian duduk di lantai. Mereka bercakap-cakap, bercerita tentang ketakutan dan kekhawatirannya selama ini serta saling berbagi keluh-kesah.
Ibu juga sering mengajakku ke klinik. Di luar klinik, banyak pedagang yang mencari nafkah dengan menjual manisan. Aku menarik-narik gamis Ibu ke arah penjual kue manis khas Mesir (namoura). Aku meminta Ibu untuk membelikanku sepotong namoura. Dengan terpaksa Ibu menuruti kemauanku.
(Namoura, kue manis asal Timur Tengah)
Meski Ayah sudah lama tak ada kabar dan Kakek tidak bisa bekerja karena sulitnya mencari pekerjaan, situasi keuangan kami termasuk baik-baik saja jika dibandingkan dengan para tetangga yang lain. Aku biasa melihat kakek atau Ibu memegang sejumlah uang. Namun aku tak tahu persis dari mana uang itu berasal. Memang sebelum perang, aku sering melihat beberapa gelang emas di tangan Ibu. Tetapi setelah perang berakhir, gelang itu sudah tak ada lagi.
Pamanku yang lain, Paman Saleh, biasa mengunjungi kami. Dia memberi Ibu sejumlah uang. Tak lupa juga memberi uang pada para keponakannya; aku dan sepupu-sepupuku. Setelahnya, kami akan berlari keluar dan membeli beberapa permen di toko terdekat, toko Abu Jabir. Paman Saleh memiliki sebuah pabrik tekstil dengan beberapa mesin tekstil elektrik yang dibawanya dari Mesir sebelum terjadi pendudukan (penjajahan) di Gaza. Pabrik ini terus beroperasi setelah masa pendudukan dengan memproduksi kain dalam jumlah besar yang dijualnya kepada para pedagang kain di Gaza. Setelah perang tahun 1967, jalur perekonomian di Tepi Barat dan Gaza berangsur-angsur normal. Paman mulai menjual sebagian produksinya ke bagian selatan Tepi Barat, di daerah Hebron. Karena kondisi keuangannya cukup stabil, dia memastikan untuk sesekali memberikan sebagian uangnya pada Ibu. Ibu pernah mencoba menolak, namun Paman memarahinya dan berkata, "Jika aku tidak membantumu, siapa yang akan membantumu dan bagaimana anak-anakmu akan hidup?" Setelah itu Ibu menerimanya dengan kepala tertunduk dan aliran air mata di pipi. Paman lalu menenangkannya, "Sudahlah, setiap kali menerima ini, mengapa kau selalu menangis..."
Setiap hari, Bibi dan anak-anaknya tinggal bersama kami. Kami saling berbagi remah-remah roti dan air minum di sana. Kakek meminta kakakku, Mahmoud, dan sepupuku, Hasan, untuk merobohkan sebagian tembok yang memisahkan rumah kami dengan rumah Paman sehingga menjadi satu rumah dengan sedikit sekat privasi.
Keluarga dari Bibi berada dalam situasi yang sulit. Mereka juga tidak dapat membantu Bibi dengan apa pun. Paman telah syahid dan Bibi kehilangan kepala keluarga.
Seiring berjalannya waktu, keluarga dari Bibi mulai menekan Bibi untuk menikah lagi karna tak ada alasan yang menjadi pembenaran baginya untuk tetap melajang. Namun Bibi menolak karena takut kehilangan anak-anaknya. Keluarga Pamanku mencoba meyakinkan keluarga Bibi bahwa Kakek akan membantu mereka. Bibi masih muda dengan masa depan yang panjang, tak seharusnya dia mengabaikan kesempatan untuk menikah lagi.
Penerjemah : Nidda, Editor : Sabilillah
Posting Komentar