SEBUAH NOVEL PERJUANGAN DARI YAHYA SINWAR - 4/2

 

Episode Sebelumnya: Kemudian, dengan tangan yang terlatih, ia mulai menuliskan nama masing-masing dari kami di atas buku dan perlengkapan kami—dengan goresan tinta hitam pekat, dalam huruf-huruf yang begitu indah hingga hampir-hampir tampak hidup.

Baca episode sebelumnya ...

Usai hari sekolah, Muhammad dan sepupuku Ibrahim menggandeng tanganku. Kami bertiga pulang bersama dengan langkah kecil penuh semangat, masing-masing memanggul tas kain yang kini tak lagi kosong—penuh berisi alat tulis dan buku-buku baru. Hari-hari pun mulai berlalu satu demi satu, dan aku mulai mengeja huruf demi huruf, belajar membaca, menulis, dan berhitung. Di kelas, aku mulai menghafal beberapa surat pendek dari Al-Qur’an, seperti teman-teman lainnya.

Setiap pagi kami berjalan bersama menuju sekolah, dan saat waktu istirahat tiba, kami berhamburan ke halaman, bermain dan menikmati bekal yang disiapkan ibu. Roti isi dakkah atau cabai cincang menjadi pengisi perut kami yang riang. Hanya sesekali roti itu berisi selai manis, dan saat itulah rasanya seperti merayakan hari raya kecil. Terkadang, kami menggunakan separuh roti untuk membeli sedikit labneh dari wanita-wanita tua yang duduk setia di depan gerbang sekolah. Kami pun menyantapnya dengan penuh selera, dan tak ada yang lebih nikmat dari rasa asamnya yang menyegarkan, seolah menghidupkan seluruh lidah dan kenangan masa kecil kami.

Sepulang sekolah kami pulang ke rumah untuk makan siang. Setelah itu, Mahmoud dan Hassan berangkat ke pabrik milik paman Saleh. Sementara itu, kami yang lebih kecil menghabiskan waktu antara bermain di lorong-lorong kampung dan membuka kembali buku pelajaran, mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru kami, Syaikh Hassan.

Malam hari, sering kali kami berkumpul di sekitar baskom cuci yang kami balikkan menjadi meja darurat. Di tengah baskom itu, kami letakkan pelita kecil—satu-satunya sumber cahaya dalam gelap malam. Masing-masing dari kami meletakkan buku atau buku catatan di atasnya, lalu membungkuk, duduk bersila di lantai tanah, tekun menyelesaikan pelajaran.

Ibu duduk di dekat kami bersama anggota keluarga lain yang tidak sedang belajar. Mereka mengobrol pelan, membiarkan suara mereka menjadi latar yang hangat bagi semangat belajar kami. Dalam cahaya temaram dan kehangatan kebersamaan, pelajaran dan kehidupan menyatu dalam kesederhanaan yang penuh makna.

Hampir tak pernah berlalu satu pekan pun tanpa suara menggelegar dari pengeras suara yang menggema di kampung: "Larangan keluar rumah telah diberlakukan". Kami pun tahu—seorang pejuang telah kembali mengguncang keangkuhan penjajah, melempar granat atau menembakkan peluru pada salah satu patroli mereka. Maka sekali lagi, pasukan pendudukan mencoba menerobos masuk ke dalam kamp pengungsi kami, dan sekali lagi, para pejuang menyambut mereka dengan peluru dan tekad. Mereka pun mundur, terhempas, kalah semangat.

Namun tahun ini, kabar duka datang bersama kabar perlawanan. Abu Yusuf—tetangga kami yang kami cintai—telah gugur. Ia keluar bersama dua pemuda lain dalam misi perlawanan, dengan tekad menyerang patroli musuh yang lewat saban hari di jam yang sama. Rencana mereka rapi: salah seorang akan melempar granat ke arah kendaraan penjajah, lalu berlari seolah melarikan diri, memancing kemarahan mereka, menarik pasukan ke dalam perangkap yang telah disiapkan Abu Yusuf dan rekannya Ibrahim—yang bersembunyi dengan senapan Carl Gustav dan granat di tangan.

Namun langit tak selalu mendengar doa dengan cara yang sama. Malam itu, sebelum patroli sempat lewat, pasukan penjajah muncul dari arah belakang. Mereka mengepung dan menyerbu. Tak sempat berbalik atau melawan, Abu Yusuf dan Ibrahim dihujani peluru. Keduanya gugur di tempat. Gugur sebagai bara dari api perlawanan yang tak kunjung padam.

Namun kali ini, tak ada larangan keluar rumah dari pasukan pendudukan. Justru, kamp pengungsi meletup seluruhnya, seakan satu hati berdegup di dada yang sama. Lelaki dan perempuan, tua dan muda, semuanya keluar dari rumah mereka, dan kebanyakan dari mereka menangis—berkabung atas syahidnya Abu Yusuf.

Sebuah prosesi pemakaman agung mengiringi para syuhada. Seluruh penghuni kamp berjalan bersama nisan dan nyanyian jiwa:

"Dengan jiwa dan darah, kami menebusmu, wahai syahid... Dengan jiwa dan darah, kami menebusmu, wahai Palestina".

Nisan-nisan itu dibawa berkeliling kamp beberapa kali, seolah membiarkan Abu Yusuf dan kawan-kawannya mengucapkan selamat tinggal kepada setiap batu, lorong, dan jendela, sebelum mereka dibaringkan dalam tanah yang tak jauh dari rumah.

Sore itu, kakek menggandengku menuju pojok rumah, di mana para lelaki dan syekh dari lingkungan kami biasa duduk, bersenda, dan mendiskusikan kabar terkini. Topik hari itu, tentu saja, adalah gugurnya Abu Yusuf dan dua rekannya.

Semua tampak tercengang dengan apa yang terjadi.

Salah seorang pria berkata, “Mereka tertangkap basah... mereka tertipu".

Yang lain bertanya, “Bagaimana bisa begitu?”

Sahabatnya menjawab, “Tembakan datang dari belakang... dari arah yang tak mereka perkirakan”.

Orang ketiga berseru, “Apa katamu? Serangan dari belakang?!”.

Ia menegaskan, “Seperti yang kudengar”.

Kakekku, dengan suara berat, bertanya, “Apakah itu berarti... ada pengkhianatan? Ada yang berkhianat?”.

Pria itu mengangkat bahu, “Mana aku tahu... Tapi itu yang terjadi”.

Seseorang menghela napas panjang, menggeleng sambil berkata,
"Demi Tuhan... hal seperti ini membuat kepala tak sanggup berpikir. Allah menyayangimu Abu Yusuf... Semoga Allah mengganti kami dengan kebaikan dari kepergianmu."

Beberapa hari setelah peristiwa itu, ketika matahari hampir tenggelam dan waktu pemberlakuan jam malam mulai mendekat seperti biasa, kami sedang bermain di lorong kecil di kamp. Tiba-tiba, sejumlah pejuang bertopeng dan bersenjata muncul, menguasai tempat, dan masing-masing dari mereka mengambil posisi di mulut gang-gang sempit.

Lalu datanglah Abu Hatim, menyeret seorang lelaki dari kamp kami dengan menarik telinganya—dalam keadaan yang paling hina, wajahnya penuh rasa malu dan tubuhnya seolah menyusut. Di tangan Abu Hatim tergenggam sebatang tongkat rotan, sementara di bahunya tergantung senapan.

Kami semua berhenti bermain. Suasana seketika berubah. Penduduk mulai keluar dari rumah-rumah mereka, menatap dari jendela, dari pintu, dari balik tirai. Abu Hatim berdiri tegak, tongkatnya di tangan, dan laki-laki malang itu berusaha menyembunyikan wajahnya di antara kedua tangannya, menekuk tubuhnya seakan ingin melebur ke tanah.

Penerjemah : Nidda, Editor : Shofi

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama