Usai hari sekolah, Muhammad dan
sepupuku Ibrahim menggandeng tanganku. Kami bertiga pulang bersama dengan
langkah kecil penuh semangat, masing-masing memanggul tas kain yang kini tak
lagi kosong—penuh berisi alat tulis dan buku-buku baru. Hari-hari pun mulai
berlalu satu demi satu, dan aku mulai mengeja huruf demi huruf, belajar
membaca, menulis, dan berhitung. Di kelas, aku mulai menghafal beberapa surat
pendek dari Al-Qur’an, seperti teman-teman lainnya.
Setiap pagi kami berjalan bersama
menuju sekolah, dan saat waktu istirahat tiba, kami berhamburan ke halaman,
bermain dan menikmati bekal yang disiapkan ibu. Roti isi dakkah atau cabai
cincang menjadi pengisi perut kami yang riang. Hanya sesekali roti itu berisi
selai manis, dan saat itulah rasanya seperti merayakan hari raya kecil.
Terkadang, kami menggunakan separuh roti untuk membeli sedikit labneh dari
wanita-wanita tua yang duduk setia di depan gerbang sekolah. Kami pun
menyantapnya dengan penuh selera, dan tak ada yang lebih nikmat dari rasa
asamnya yang menyegarkan, seolah menghidupkan seluruh lidah dan kenangan masa
kecil kami.
Sepulang sekolah kami pulang ke
rumah untuk makan siang. Setelah itu, Mahmoud dan Hassan berangkat ke pabrik milik
paman Saleh. Sementara itu, kami yang lebih kecil menghabiskan waktu antara
bermain di lorong-lorong kampung dan membuka kembali buku pelajaran, mengerjakan
tugas-tugas yang diberikan oleh guru kami, Syaikh Hassan.
Malam hari, sering kali kami berkumpul
di sekitar baskom cuci yang kami balikkan menjadi meja darurat. Di tengah
baskom itu, kami letakkan pelita kecil—satu-satunya sumber cahaya dalam gelap
malam. Masing-masing dari kami meletakkan buku atau buku catatan di atasnya,
lalu membungkuk, duduk bersila di lantai tanah, tekun menyelesaikan pelajaran.
Ibu duduk di dekat kami bersama
anggota keluarga lain yang tidak sedang belajar. Mereka mengobrol pelan,
membiarkan suara mereka menjadi latar yang hangat bagi semangat belajar kami.
Dalam cahaya temaram dan kehangatan kebersamaan, pelajaran dan kehidupan
menyatu dalam kesederhanaan yang penuh makna.
Hampir tak pernah berlalu satu pekan
pun tanpa suara menggelegar dari pengeras suara yang menggema di kampung: "Larangan keluar rumah telah diberlakukan". Kami pun tahu—seorang pejuang telah
kembali mengguncang keangkuhan penjajah, melempar granat atau menembakkan
peluru pada salah satu patroli mereka. Maka sekali lagi, pasukan pendudukan
mencoba menerobos masuk ke dalam kamp pengungsi kami, dan sekali lagi, para
pejuang menyambut mereka dengan peluru dan tekad. Mereka pun mundur, terhempas,
kalah semangat.
Namun tahun ini, kabar duka datang
bersama kabar perlawanan. Abu Yusuf—tetangga kami yang kami cintai—telah gugur.
Ia keluar bersama dua pemuda lain dalam misi perlawanan, dengan tekad menyerang
patroli musuh yang lewat saban hari di jam yang sama. Rencana mereka rapi:
salah seorang akan melempar granat ke arah kendaraan penjajah, lalu berlari
seolah melarikan diri, memancing kemarahan mereka, menarik pasukan ke dalam
perangkap yang telah disiapkan Abu Yusuf dan rekannya Ibrahim—yang bersembunyi
dengan senapan Carl Gustav dan granat di tangan.
Namun langit tak selalu mendengar doa dengan cara yang sama. Malam itu, sebelum patroli sempat lewat, pasukan penjajah muncul dari arah belakang. Mereka mengepung dan menyerbu. Tak sempat berbalik atau melawan, Abu Yusuf dan Ibrahim dihujani peluru. Keduanya gugur di tempat. Gugur sebagai bara dari api perlawanan yang tak kunjung padam.
Namun kali ini, tak ada larangan
keluar rumah dari pasukan pendudukan. Justru, kamp pengungsi meletup
seluruhnya, seakan satu hati berdegup di dada yang sama. Lelaki
dan perempuan, tua dan muda, semuanya keluar dari rumah mereka, dan kebanyakan
dari mereka menangis—berkabung atas syahidnya Abu Yusuf.
Sebuah prosesi pemakaman agung
mengiringi para syuhada. Seluruh penghuni kamp berjalan bersama nisan dan
nyanyian jiwa:
"Dengan jiwa dan darah, kami
menebusmu, wahai syahid... Dengan jiwa dan darah, kami menebusmu, wahai
Palestina".
Nisan-nisan itu dibawa berkeliling
kamp beberapa kali, seolah membiarkan Abu Yusuf dan kawan-kawannya mengucapkan
selamat tinggal kepada setiap batu, lorong, dan jendela, sebelum mereka
dibaringkan dalam tanah yang tak jauh dari rumah.
Sore itu, kakek menggandengku menuju
pojok rumah, di mana para lelaki dan syekh dari lingkungan kami biasa duduk,
bersenda, dan mendiskusikan kabar terkini. Topik hari itu, tentu saja, adalah
gugurnya Abu Yusuf dan dua rekannya.
Semua tampak tercengang dengan apa
yang terjadi.
Salah seorang pria berkata, “Mereka tertangkap basah... mereka tertipu".
Yang lain bertanya, “Bagaimana bisa
begitu?”
Sahabatnya menjawab, “Tembakan
datang dari belakang... dari arah yang tak mereka perkirakan”.
Orang ketiga berseru, “Apa katamu?
Serangan dari belakang?!”.
Ia menegaskan, “Seperti yang
kudengar”.
Kakekku, dengan suara berat,
bertanya, “Apakah itu berarti... ada pengkhianatan? Ada yang berkhianat?”.
Pria itu mengangkat bahu, “Mana aku
tahu... Tapi itu yang terjadi”.
Seseorang menghela napas panjang, menggeleng
sambil berkata,
"Demi Tuhan... hal seperti ini membuat kepala tak sanggup berpikir.
Allah menyayangimu Abu Yusuf... Semoga Allah mengganti kami dengan kebaikan dari
kepergianmu."
Beberapa hari setelah peristiwa itu,
ketika matahari hampir tenggelam dan waktu pemberlakuan jam malam mulai
mendekat seperti biasa, kami sedang bermain di lorong kecil di kamp. Tiba-tiba,
sejumlah pejuang bertopeng dan bersenjata muncul, menguasai tempat, dan
masing-masing dari mereka mengambil posisi di mulut gang-gang sempit.
Lalu datanglah Abu Hatim,
menyeret seorang lelaki dari kamp kami dengan menarik telinganya—dalam keadaan
yang paling hina, wajahnya penuh rasa malu dan tubuhnya seolah menyusut. Di
tangan Abu Hatim tergenggam sebatang tongkat rotan, sementara di bahunya
tergantung senapan.
Kami semua berhenti bermain. Suasana
seketika berubah. Penduduk mulai keluar dari rumah-rumah mereka, menatap dari
jendela, dari pintu, dari balik tirai. Abu Hatim berdiri tegak, tongkatnya di
tangan, dan laki-laki malang itu berusaha menyembunyikan wajahnya di antara kedua
tangannya, menekuk tubuhnya seakan ingin melebur ke tanah.
Posting Komentar