SEBUAH NOVEL PERJUANGAN DARI YAHYA SINWAR - 4/1




BAB 4 

Sepanjang malam, aku tak henti-hentinya bersiap untuk sekolah atau membicarakannya, bertanya kepada saudara-saudaraku tentang banyak hal yang berkaitan dengan sekolah, atau sekadar terhanyut dalam lamunan dan mimpi. Sebab, esok adalah hari pertamaku—hari yang sudah lama kunantikan.

Menjelang tidur, aku mendekati nalmiyyah—lemari kecil yang bertengger sederhana di sudut kamar kami. Perlahan, aku membuka pintunya, menarik keluar pakaian yang telah kupersiapkan dengan penuh suka cita. Lalu, satu per satu, aku memakainya, termasuk sepatu baruku yang warnanya merah menyala, seolah menyimpan api kecil di dalamnya.

Ketika Ibu melihatku, ia berteriak dari sudut ruangan, "Apa yang kamu lakukan, Ahmad?!".

Aku menjawab lirih, nyaris berbisik, "Aku sedang bersiap-siap, Bu... untuk sekolah". 

Ibu tertawa—tawa yang hangat dan penuh kasih—lalu berkata, "Masih lama, Nak... masih tersisa satu malam panjang sampai tiba pagi". 

Di pagi buta, aku terjaga oleh lantunan doa-doa dan bisikan munajat Kakek. Setelah itu, aku tak mampu lagi memejamkan mata. Begitu ibuku terbangun dari tidurnya, aku melompat dari pembaringan, penuh semangat, untuk bersiap ke sekolah.

Tak lama kemudian, Ibu membangunkan saudara-saudaraku dan menyuruh kakakku, Mahmud, untuk membangunkan kedua sepupuku yang tidur bersama kakek di kamar lain. Sepupuku pun bersiap, dan Ibu memakaikanku pakaian dengan penuh kelembutan, menghiasiku seolah-olah aku hendak pergi ke sebuah pesta besar—pesta yang kunanti seumur hidup.

Sambil merapikan kerah bajuku, Ibu tak henti-hentinya menasihatiku.  Kata-katanya mengalir penuh doa dan harapan. Ia memujiku, "Kamu anak pintar... anak hebat... lelaki sejati".

Sebelum kami berangkat, Ibu menyelipkan ke tangan kami masing-masing sebuah shillin—selembar uang kecil bernilai lima agorot dari lira Israel. Lalu, dengan penuh cinta, ia meletakkan sepotong roti di dalam tas kami—tas-tas kecil yang masih kosong, kecuali roti itu dan impian-impian kecil kami yang baru saja mulai bersemi.

Ibuku berpesan panjang lebar kepada kakakku, Mahmud, agar menjagaku baik-baik. Ia menitipkanku seolah-olah menitipkan sebuah harta berharga yang baru pertama kali berani menjejakkan kaki ke dunia luar.

Mahmud, yang saat itu sudah duduk di kelas tiga sekolah dasar—kelas yang sama denganku di Sekolah Dasar Laki-laki Pengungsi A—akan menjadi pengawalku, pemanduku, dan temanku sepanjang hari pertama yang mendebarkan itu.

Kakakku yang lain, Maha, duduk di kelas lima di Sekolah Dasar Perempuan Pengungsi B. Sementara itu, kakakku Hasan menapaki jenjang pertama di Sekolah Menengah Pertama Laki-laki Pengungsi A, dan kakakku Fatimah sudah mencapai kelas tiga di tingkat yang sama, di sekolah perempuan.

Mahmud sendiri tengah belajar di kelas dua sekolah menengah atas di Sekolah al-Karmel, sekolah yang mulai membangun nama di kalangan anak-anak pengungsi.

Sementara itu, Ibrahim, sepupuku, juga berada di kelas dua sekolah dasar yang sama denganku, hanya setahun lebih dulu. Sedangkan sepupuku yang lain, Hasan, telah menjejakkan langkahnya di kelas satu sekolah menengah atas di Sekolah al-Karmel.

Kami bersama semua keluar dari rumah, bagai aliran sungai kecil yang baru saja melepaskan diri dari mata airnya.

Kakakku Muhammad menggenggam erat salah satu tanganku, sementara sepupuku Ibrahim menggenggam tangan satuku lagi. Tas kain kecilku tergantung di leherku, bergoyang-goyang seiring langkah kecil yang penuh semangat.

Kami melangkah bersama menuju sekolah, menyusuri jalanan kamp pengungsi yang perlahan mulai sibuk oleh anak-anak lain, masing-masing menuju cita-cita kecil mereka.

Setelah menempuh perjalanan yang lumayan, kami mulai berpisah ke arah yang berbeda; kelompok demi kelompok menuju sekolah masing-masing. Namun aku, Muhammad, dan Ibrahim tetap bertiga, menapaki jalan yang sama, saling menjaga, seakan-akan kami adalah dunia kecil yang tak boleh tercerai.

Jalanan pagi itu sesak oleh anak-anak lelaki dan perempuan seperti kami, segala usia, mengalir dalam satu arus menuju sekolah-sekolah mereka.

Anak-anak laki-laki mengenakan pakaian yang beraneka warna dan bentuk, seolah setiap baju bercerita tentang rumah dan tangan ibu yang menyiapkannya. Sementara para perempuan kecil, seragam dalam gaun sekolah mereka—disebut meryul—yang terbuat dari kain bergaris halus: putih dan biru, masing-masing selebar setengah sentimeter. Rambut mereka tersusun rapi, diikat pita-pita putih yang tampak berkilau di bawah sinar pagi.

Yang membedakan kami, anak laki-laki, adalah kepala kami yang nyaris gundul—digunduli hampir habis atau hanya menyisakan bayangan tipis di kulit kepala.

Akhirnya, kami sampai di depan sekolah. Di sana, para pedagang kaki lima telah memenuhi area sekitar, laki-laki dan perempuan sama saja, ada yang mendorong gerobak kecil penuh dagangan, ada pula yang menggelar jualan di atas tikar-tikar lusuh. Semuanya sibuk, semuanya menanti pagi mengharap rezeki.

Kami melangkah memasuki gerbang sekolah, disambut oleh sebuah halaman luas yang membentang seperti hamparan mimpi. Pepohonan tinggi menjulang di sekelilingnya, seolah menjaga rahasia tempat ini sejak lama. Mengelilingi halaman itu, berdiri deretan ruang kelas dalam formasi yang rapi.

Di dekat pintu masuk, sebuah taman kecil merekah—dipenuhi bunga dan aneka tanaman hijau yang tumbuh di sekitar sebuah kolam air sederhana. Udara pagi dipenuhi wangi basah tanah dan bisik dedaunan.

Kakakku, Muhammad, mulai mengenalkanku pada dunia baru ini. "Ini kelas satu A," katanya, menunjuk sebuah pintu, "Itu kelas satu B, dan sebelahnya kelas satu C. Di sana kelas dua, di sana kelas tiga..." Lalu ia menunjukkan ruang guru, ruang kepala sekolah, kantin tempat membeli makanan, toilet, dan deretan keran air minum yang berjajar seperti pasukan kecil.

Tiba-tiba, lonceng pagi berdentang—nyaring dan menggema ke seluruh sudut halaman. Para guru datang mengatur barisan siswa. Anak-anak dengan cepat mengambil tempat mereka, sementara kami, para murid baru di kelas satu, dikumpulkan di tengah lapangan.

Satu per satu nama kami dipanggil dengan suara lantang. Setiap yang namanya disebut, maju dan berdiri di sisi yang ditentukan, hingga akhirnya kami terbagi menjadi tiga kelompok.

Guru kami, seorang lelaki tua bersahaja, mengenakan jubah panjang dan bertengger di kepalanya sebuah tarbush merah, tanda bahwa beliau seorang ulama yang belajar di Al-Azhar. Dari raut wajahnya terpancar wibawa, dan dalam sorot matanya ada sesuatu yang membuatku merasa aman sekaligus kagum.

Kami pun melangkah masuk ke ruang kelas satu A. Guru kami, dengan sabar dan teliti, mulai menata kami sesuai tinggi badan—yang paling pendek di depan. Kami dibagi menjadi tiga kelompok, masing-masing berisi tiga anak.

Setiap kelompok kecil itu duduk bersama di sebuah bangku kayu panjang—sebuah bangku (bänk), begitu orang-orang menyebutnya. Bangku itu terbuat dari papan kayu kokoh, panjangnya lebih dari satu meter, dan lebarnya sekitar dua puluh lima sentimeter. Di depan kami terbentang papan lain, sedikit lebih lebar, tempat kami akan meletakkan buku dan buku catatan yang kelak menjadi sahabat hari-hari kami.

Di bawah tempat duduk, ada papan tambahan tempat kami menyimpan tas-tas kecil kami—semuanya tersusun menjadi satu kesatuan yang kokoh, dipaku dengan balok-balok kayu tebal agar tak mudah bergeser. Itulah bangku sekolah kami—sederhana, keras, tapi terasa seperti tahta kecil bagi para penakluk dunia huruf dan angka yang baru akan kami masuki.

Di dalam kelas, tersusun tiga deret bangku memanjang, masing-masing deret terdiri dari sekitar tujuh bangku. Di setiap bangku duduk tiga murid kecil, bersisian dalam keakraban yang masih baru dan canggung.

Antara satu deret bangku dan deret berikutnya terbentang lorong kecil, lebarnya kira-kira satu setengah meter, cukup lapang untuk guru berjalan di antaranya, mengamati, membimbing, atau mungkin sesekali menegur dengan suara yang menggetarkan dada kami.

Di ujung depan ruangan, berdiri meja kayu sederhana dan kursi milik guru—singgasana tempat segala perintah dan pelajaran mengalir. Di balik meja itu, melekat pada dinding, terhampar sebuah papan tulis besar berwarna hitam, yang kami kenal dengan nama al-lawh—panggung sunyi tempat huruf-huruf dan angka-angka akan segera bangkit hidup di hadapan mata kami.

Kami duduk di tengah-tengah bangku kayu yang telah ditentukan oleh guru kami, yang memperkenalkan dirinya dengan suara lembut dan penuh wibawa, “Aku adalah Syekh Hasan.”

Mulailah ia mengenal kami satu per satu. Setiap anak yang menyebutkan namanya, segera ditanyainya tentang ayahnya, pamannya, dan kakeknya, seolah ia sedang merenda jalinan besar yang menghubungkan keluarga-keluarga kami satu sama lain.

Tak butuh waktu lama bagi kami untuk menyadari bahwa Syekh Hasan mengenal semua orang tua kami, seakan-akan—ada ikatan darah antara kami dan hatinya yang hangat itu.

Saat giliranku tiba, aku berdiri kecil di hadapannya dan berkata, “Aku Ahmad Ibrahim As-Salih".

Sekonyong-konyong, Syekh Hasan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke langit, dan dengan suara menggigilkan dada, ia berdoa,

"Allahumma, tolong kembalikan ayahnya dengan selamat".

Saat itu aku tahu, tanpa perlu bertanya Syekh Hasan tahu bahwa ayahku menghilang entah ke mana, dan kami, keluarganya, hanya bisa menggantungkan harap.

Tak berapa lama setelah itu, mereka membawa alat tulis ke kelas kami: tumpukan buku, buku tulis, pena, dan penghapus. Syekh Hasan pun mulai membagikan barang-barang itu kepada kami dengan tangan penuh kasih, seakan-akan ia membagikan mimpi-mimpi kecil kepada — jiwa-jiwa kami yang haus akan ilmu.

Setiap anak mendapat sebuah buku bacaan, halaman-halamannya berhiaskan gambar-gambar berwarna cerah, dengan tulisan-tulisan di bawahnya yang masih asing bagi kami, belum bisa kami eja ataupun pahami.

Kami juga diberi sebuah buku hitung, dan satu juz dari Al-Qur'an, Juz 'Amma yang mulia. Selain itu, di tangan kami masing-masing, terselip lima buah buku tulis, lima batang pensil, dan sebuah penghapus kecil.

Sampul buku tulis itu berwarna merah tua bercampur cokelat, dengan logo UNRWA (United Nations Relief and Works Agency) tercetak di atasnya—lambang harapan yang sederhana di tengah kefanaan hidup di pengungsian.

Dengan sabar, Syekh Hasan memperkenalkan kami satu per satu pada peralatan baru itu,"Ini buku bacaan. Ini buku hitung. Ini buku tulis. Simpanlah tiga di antaranya di rumah bersama ibumu, kita akan gunakan satu untuk membaca dan satu untuk berhitung. Setiap hari, bawalah kedua buku itu, juga Juz 'Amma, sebatang pena, dan penghapusmu".

Kemudian, dengan tangan yang terlatih, ia mulai menuliskan nama masing-masing dari kami di atas buku dan perlengkapan kami—dengan goresan tinta hitam pekat, dalam huruf-huruf yang begitu indah hingga hampir-hampir tampak hidup.


Bersambung ... 

Penerjemah : Nidda, Editor : Sabilillah

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama