Hari Jumat, para buruh itu bekerja hanya sampai pukul dua siang. Setelah itu, para majikan Yahudi mulai bersiap menyambut hari Sabat—hari libur mingguan yang mereka jalani dengan kekhusyukan yang tenang, sementara para buruh kembali ke kamp dengan tubuh letih dan kantong yang pas-pasan. Sebagian dari para pekerja ini hidup dari upah harian. Mereka digaji di akhir setiap hari kerja, lalu esok paginya kembali berdiri di titik yang sama—di "mukif al-‘ummāl", terminal buruh harian. Di sanalah mereka menunggu, berjejer seperti barisan pohon kering, menanti datangnya para kontraktor dan majikan Yahudi yang muncul dengan mobil-mobil mereka dan celana pendek khas mereka, matanya liar menyapu kerumunan, mencari tangan-tangan yang masih kuat mengangkat batu dan semen. Maka terjadilah perburuan pagi itu: para buruh berebut perhatian, memajukan diri, merendahkan suara, menawarkan tenaga. Dan majikan pun memilih, seperti memilih alat: yang paling kuat, yang tampak paling patuh, atau yang paling diam. Lalu disepakatilah upah hari itu—kadang adil, kadang menyakitkan. Sementara sebagian lainnya lebih beruntung; mereka punya pekerjaan yang lebih tetap—mingguan, bulanan, atau bahkan kontrak yang berkelanjutan. Tapi tetap saja, dalam dunia yang ditentukan oleh penjajahan dan kelaparan, tak ada yang sungguh “tetap”—semuanya bisa hilang hanya dengan satu perintah atau satu anggukan kepala.
Seiring waktu, hubungan antara para buruh Arab dan para majikan Yahudi mulai mengalami perubahan. Letih oleh perjalanan harian yang panjang, dan didorong oleh keinginan untuk menghemat waktu dan tenaga, para majikan mulai mencarikan tempat tinggal bagi para buruh mereka—agar mereka bisa menetap dekat lokasi kerja selama sepekan penuh. Kini, si buruh akan berangkat dari rumahnya pada pagi buta hari Minggu, membawa serta sehelai pakaian ganti, sepotong roti, dan doa-doa diam yang tak sempat dilafalkan. Ia akan tinggal di lokasi kerja, bekerja siang dan malam, tidur di sudut bangunan atau barak seadanya, hingga datang hari Jumat. Saat matahari siang mulai condong di hari itu, ia pun pulang ke kampung. Di kantong bajunya tersimpan uang hasil kerja seminggu, dan di tangannya sebuah kantong plastik atau keranjang, penuh dengan barang-barang yang dibawanya pulang dari tanah yang dulu adalah tanah kami—dari Israel. Ia kembali membawa rezeki, tapi juga membawa kelelahan yang tak bisa dicuci oleh tidur, dan rindu yang tak cukup diobati oleh akhir pekan yang singkat. Sebagian dari para buruh mulai menyewa rumah-rumah di kota-kota seperti Qalqiliya atau Tulkarm—kota-kota yang letaknya lebih dekat ke wilayah “dalam” tanah yang diduduki. Beberapa orang di antara mereka patungan untuk menyewa satu kamar atau satu rumah kecil, tempat mereka tinggal selama sepekan penuh, bahkan kadang hingga sebulan lamanya. Semua ini demi menghemat ongkos perjalanan dan menyisakan sedikit tenaga dari kelelahan perjalanan bolak-balik setiap hari yang menggerus tubuh dan jiwa. Di sana, di jantung tanah yang terjajah, para buruh Palestina bersua dengan dunia lain—dunia yang memiliki adat, tata krama, dan sistem nilai yang asing bagi mereka. Dunia itu begitu berbeda—jika bukan bertolak belakang—dengan budaya kami yang tumbuh dari kemiskinan, dari pengungsian, dari kamp-kamp yang dibangun di atas tanah air yang dirampas. Itu bukan sekadar perbedaan bahasa atau pakaian. Itu adalah pertemuan dua cara hidup—yang satu hidup di bawah cahaya listrik kota, dan yang lain bertahan di bawah cahaya lilin perjuangan. Para buruh pun berdiri di ambang batas itu, mencoba bekerja, bertahan, dan tidak larut.
Mayoritas mutlak dari
para buruh itu tak tergoda oleh dunia yang mereka lihat di sana. Mereka
memandangnya dengan jijik dan hina—sebagai kehidupan yang penuh kesemuan,
kebebasan yang tanpa arah, dan nilai-nilai yang mencederai martabat. Mereka
tahu siapa diri mereka dan dari tanah apa mereka berasal. Namun, tak bisa dipungkiri, segelintir anak muda yang longgar
kendalinya mulai goyah. Ada di antara mereka yang pelan-pelan terbiasa dengan
minuman keras, mulai mengenal aroma busuk dari rumah-rumah pelacuran, mulai
terbawa dalam arus lampu redup diskotik dan suara hingar hiburan malam. Dalam kasus-kasus yang jarang, ada pula yang bertemu dengan
seorang gadis Yahudi—secara tak sengaja, di tempat kerja atau di pasar.
Hubungan itu berkembang, lalu perlahan menyeretnya masuk ke dalam kehidupan
yang bukan miliknya. Ia mulai mencintai, mulai tinggal bersama, mulai hidup di
bawah nilai-nilai dan adat istiadat yang bukan dari rahim negerinya.
Seolah-olah pengasingan yang pertama belum cukup, kini ia terasing pula dari
jati dirinya sendiri.
Seiring derasnya arus
buruh yang bepergian ke wilayah pendudukan, kebutuhan akan kendaraan pun meningkat. Jalan itu
pun terbuka bagi para sopir baru yang ingin ikut dalam roda rezeki yang sedang
berputar. Beberapa buruh yang berhasil menyisihkan sebagian dari penghasilan
mereka, membeli mobil sendiri—biasanya mobil tua merek Peugeot—dan mulai
mengangkut buruh lain dari kampung mereka. Mereka menjemput para
tetangga dan teman seperjalanan, menghindarkan mereka dari kelelahan berjalan
kaki menuju terminal buruh di pagi gelap, dan mengantar mereka kembali ke rumah
menjelang malam. Sebagai imbalannya, mereka menerima ongkos sebagaimana biasa.
Maka, mobil-mobil tua itu mulai masuk ke kamp, dan kehadiran kendaraan perlahan
menjadi pemandangan sehari-hari. Pekikan mesin dan debu jalanan pun menjadi
bagian dari nyanyian pagi dan sore di kamp yang dulu hanya tahu langkah kaki. Tak jarang, salah satu dari mereka pulang membawa sesuatu di
atas mobilnya—kursi bekas, sofa robek yang masih layak duduk, rak tua, atau
potongan furnitur lainnya. Barang-barang itu adalah limbah “tuan” Yahudi
mereka, yang membeli baru dan membuang yang lama. Maka si buruh pun membawanya
pulang—kadang untuk memperbaiki rumahnya yang sederhana, kadang untuk diberikan
kepada saudara atau tetangga, dan kadang untuk dijual di pasar barang bekas,
tempat orang miskin berdagang harapan.
Para pedagang Yahudi
pun mulai berdatangan ke kota Hebron dan kota-kota lain yang dekat dari wilayah
mereka, terutama Tulkarm dan Qalqiliya. Mereka datang membawa daftar kebutuhan:
paku, papan, gagang pintu, peralatan rumah, dan lain sebagainya. Mereka membeli
barang-barang itu di pasar-pasar kami—karena di sini harganya jauh lebih murah dibandingkan
pabrik-pabrik di Israel. Sebagian dari mereka bahkan membuat kontrak dengan
bengkel las atau tukang kayu: seratus pintu, seribu jendela, atau apa pun yang
dibutuhkan untuk proyek mereka. Mereka membawa uang, dan kami membawa tenaga.
Dan dalam transaksi yang tampak sederhana itu, sebuah ketergantungan ekonomi
terbentuk—yang satu butuh harga murah, yang lain butuh sesuap penghidupan. Para pengusaha Palestina pun menaikkan harga sedikit demi
sedikit. Mereka untung, para pekerja pun mendapat pekerjaan. Maka tukang las
memanaskan besinya, tukang kayu menghaluskan papan, dan suara palu menjadi
irama kehidupan baru—bukan karena kemerdekaan, tapi karena kebutuhan.
Meski kondisi ekonomi
masyarakat secara umum mulai membaik perlahan, namun api perlawanan tak pernah
padam. Ia terus menyala, naik dan turun dalam gelombang—kadang menggema, kadang
tenang—namun tak pernah benar-benar berhenti. Sebab, perlawanan tak pernah
sekadar soal lapar atau kenyang, tapi tentang tanah dan harga diri, tentang
darah dan akar, tentang kewajiban yang membara dalam dada. Benar bahwa sempitnya hidup bisa menyulut bara itu lebih cepat.
Namun bahkan dalam rumah-rumah yang kini berdinding batu dan beratap seng,
suara kemerdekaan tetap menggema dari balik dinding—seperti doa yang tak putus. Maka aksi-aksi gerilya terus berlangsung. Sebuah granat dilempar
di sini, suara tembakan terdengar di sana. Tentara pendudukan pun membalas
dengan menutup jalan, memberlakukan jam malam, menangkap orang-orang acak,
menyisir rumah-rumah, menahan pejalan kaki berjam-jam di bawah panas atau
dingin yang menusuk. Kadang ditemukan seorang mata-mata—laki-laki atau
perempuan. Maka hukuman pun dijatuhkan. Mereka tidak hanya dikucilkan. Mereka
diadili oleh suara rakyat—dan kadang oleh peluru yang sunyi, tetapi pasti.
Derasnya arus ratusan,
bahkan ribuan buruh Palestina yang masuk ke wilayah negara Yahudi membuka celah
baru bagi para pejuang perlawanan. Mereka mulai memikirkan bentuk aksi yang
lebih besar, lebih dalam, dan lebih mengguncang—aksi yang dilakukan langsung di
jantung tanah yang dirampas pada tahun 1948: di tengah-tengah permukiman,
kota-kota, desa-desa, dan koloni-koloni pendatang. Maka terbukalah sebuah babak
baru dari kitab panjang yang bernama perlawanan. Di sisi lain dari
medan itu, ada cerita yang tampak sederhana, tapi tak kalah heroik. Abdul Hafiz—putra
dari tetangga kami, Ummu al-Abid—memutuskan untuk meninggalkan bangku sekolah.
Ia meyakinkan ibunya bahwa demi masa depan adik-adiknya, demi agar mereka bisa
makan, hidup, dan terus belajar, ia sendiri harus berhenti menuntut ilmu dan
mulai bekerja. Ia ingin membebaskan ibunya dari beban kerja kasar yang
pelan-pelan meluruhkan tubuhnya. Ibunya menolak pada
awalnya, menolak dengan air mata dan doa. Tapi sang anak gigih, bersujud di
hadapan kasih yang melahirkannya, bukan untuk meminta uang, tapi untuk meminta
restu pengorbanan. Maka, setelah serangkaian bujukan yang getir, sang ibu
akhirnya mengangguk—bukan karena ia setuju, tetapi karena ia percaya pada cinta
seorang anak yang memilih letihnya sendiri demi saudara-saudaranya.
Abdul Hafiz pun mulai
bekerja di wilayah pendudukan, seperti ribuan lainnya. Setiap pagi ia berangkat
bersama aliran manusia yang letih, dan setiap sore kembali dengan tubuh yang
lebih penat dari kemarin. Setelah beberapa bulan, perlahan-lahan perubahan
mulai tampak di rumah mereka: sebuah pintu layak akhirnya berdiri kokoh
menggantikan kain usang, atap dari lembaran seng menggantikan genting rapuh,
dan lantai rumah yang dulunya tanah kini diselimuti semen dingin yang kokoh.
Sedikit demi sedikit, kehidupan mereka mulai terangkat. Namun waktu membongkar rahasia yang lebih dalam dari sekadar
perbaikan rumah dan biaya sekolah adik-adiknya. Dua tahun kemudian,
kami semua menyadari bahwa Abdul Hafiz tidak hanya pergi untuk mencari
rezeki—ia sedang menanam sebuah cita-cita. Ia telah bergabung dengan barisan Jabhat ash-Shaʿbiyyah, Front Populer.
Pekerjaannya di Israel hanyalah selubung, sebuah topeng yang menutupi rencana yang
jauh lebih besar: perlawanan yang ditanamkan di jantung musuh. Beberapa bulan setelah mulai bekerja, ketika ia telah memahami
seluk-beluk tempat itu, mulai terbiasa dengan ritme dan wajah-wajah di
sekelilingnya, ia pun bergerak. Sesekali, ia membawa sebuah granat kecil,
tersembunyi dalam kantong plastik bekalnya—di antara roti dan buah. Ia
membawanya ke Jaffa, di mana ia telah memilih sasarannya: sebuah bus, sebuah
kafe, atau klub malam. Ia menaruh bom itu diam-diam, lalu kembali seperti
biasa, menumpang kendaraan pulang bersama para buruh lainnya. Tak ada
yang curiga, tak ada yang tahu. Lalu bom itu meledak—menggetarkan ruang tempat
ia berdiri pagi tadi, menoreh luka atau mengukir kematian. Dan malam itu, Abdul
Hafiz pulang dengan wajah tenang, menyembunyikan badai dalam dadanya.
63-64
Penerjemah : Nidda, Editor : Sabilillah
Posting Komentar