NOVEL YAHYA SINWAR - Duri dan Cengkih (Asy-Syauku wal Qaranful) - 8/1

Setiap pagi, kira-kira pukul tujuh, ratusan anak lelaki dan perempuan dari kamp pengungsian ini mulai membanjiri jalan-jalan kecil menuju sekolah. Dari generasi yang paling belia—anak-anak usia tujuh tahun yang baru menapaki kelas satu sekolah dasar—hingga para remaja berusia delapan belas tahun yang tengah berjibaku di tahun-tahun menegangkan ujian akhir sekolah menengah. Mereka berjalan dengan tas di punggung, sebagian dengan bekal sederhana, mata masih setengah mengantuk, namun semangat belajar memancar dari langkah-langkah kecil mereka yang serempak menuju harapan.

Kelompok demi kelompok anak laki-laki menyusul kelompok-kelompok anak perempuan, diikuti lagi oleh kelompok laki-laki, begitu terus setiap pagi. Sebagian besar anak-anak kamp, baik laki-laki maupun perempuan, tak pernah terlalu terlibat dalam urusan cinta dan asmara. Nilai-nilai yang berlaku di lingkungan kamp mengharuskan setiap anak memperlakukan putri-putri tetangga layaknya saudara sendiri.

Ibuku selalu menasihati dan memperingatkan saudara-saudari kami agar menjaga batas. Ia sering memperingatkan kakak-kakakku yang laki-laki agar tak memandangi putri-putri tetangga dengan mata yang tak semestinya, atau berusaha mendekati mereka. Ia mengingatkan kami semua, "Siapa yang berani mencemari kehormatan orang, maka cepat atau lambat kehormatannya sendiri akan diinjak". Bahkan bila seseorang merasa dirinya paling cerdas sekalipun, tak akan luput dari akibat perbuatannya.

Nasihat-nasihat itu menjadi pagar kokoh bagi kami—membendung segala niat dan bayangan untuk meniru kelakuan sebagian anak muda yang berdiri bersandar di tikungan jalan, menanti lewatnya gadis-gadis sekolah yang berjalan seperti rembulan lewat di ufuk pagi.

Sebagian dari para pemuda itu berdiri di tepi jalan tempat para gadis lewat, sekadar untuk menatap mereka, atau melemparkan sepatah dua patah kata sambil lalu, “Ke mana kau, duhai jelita?”, “Tidakkah kalian menoleh ke arah kami, wahai manusia… keagungan hanya milik Tuhan!”

Sebagian lain berdiri di sana demi satu tujuan yang lebih dalam—untuk sekilas melihat gadis yang mereka cintai, gadis yang mereka yakini telah mengisi hati mereka. Mereka berharap, siapa tahu hubungan itu berkembang, siapa tahu sang gadis membalas pandangan dengan pandangan yang cukup untuk menerangi hatinya sepanjang hari. Siapa tahu ia bersedia menerima sepucuk surat—surat yang ditulis dengan tinta yang menetes dari relung jiwanya sendiri.

Ya, penduduk kamp ini seperti manusia lainnya di dunia. Meski dililit kesengsaraan dan dikepung kemiskinan, mereka pun mencintai, merindu, dan hidupkan detak-detak asmara sebagaimana manusia di mana pun—karena cinta tidak mengenal batas, bahkan di tengah reruntuhan.

Namun yang tak bisa disangkal, bahwa kadar keterikatan pada adat dan tradisi di kamp ini sangatlah tinggi. Menyentuh ranah gadis-gadis tetangga, walau sebatas perhatian, dianggap pelanggaran terhadap semua nilai luhur yang diwariskan. Maka, segala bentuk cinta dan rindu di sini tumbuh dalam batas-batas kesopanan yang ketat—tertib, malu-malu, dan anggun.

Sebagian besar rasa itu tetap tersembunyi, membusuk dalam dada yang tak berani bicara, kecuali mungkin lewat sepasang mata yang mencuri pandang dengan kagum dan rindu dari kejauhan. Atau dalam bentuk pengorbanan yang mencolok: anak muda yang tiba-tiba rajin membantu keluarga tetangga, menanggung beban berat yang bukan tugasnya, hingga orang-orang mulai berbisik—apa sebenarnya alasan di balik kebaikan mereka yang tak biasa itu?.

Namun sebagian pemuda di kamp lebih berani melangkahi batas-batas itu. Mereka mengizinkan diri mereka untuk menulis dan bertukar surat cinta secara diam-diam, serta bertemu dalam perjalanan pergi atau pulang sekolah—meski hanya dengan berjalan di belakang satu sama lain, seolah-olah itu kebetulan belaka. Kadang-kadang, mereka saling melempar kata, seakan masing-masing tengah bercakap dengan teman sekelasnya, padahal pandangan dan suara mereka tertuju hanya pada satu sosok di antara kerumunan.

Beberapa gadis pun sesekali membiarkan diri membuka jendela kamar di waktu yang sangat singkat—di waktu yang telah disepakati—saat sang kekasih lewat persis di depan rumah. Ia pun melemparkan surat kecilnya ke dalam kamar, sebuah kertas yang sarat rindu dan harapan.

Sering kali, gadis-gadis yang ketahuan bertukar surat langsung dihukum oleh ayah, saudara laki-laki, atau bahkan ibu mereka sendiri. Mereka dipukul, dimarahi, diperingatkan keras agar tak mencoreng kehormatan keluarga. Tapi semua kisah cinta semacam ini—yang melawan arus adat dan aturan sosial—masih sangat langka, hampir tak terdengar gaungnya, di kamp pada masa-masa awal pascaperang itu.

Sebaliknya, jumlah para pekerja yang setiap pagi berangkat menuju wilayah-wilayah yang diduduki sejak tahun 1948 mulai meningkat secara perlahan namun pasti. Fenomena ini pun melahirkan gejala sosial yang baru.

Di waktu subuh, satu per satu pria kamp keluar dari rumah mereka, masing-masing menggenggam tas kecil atau kantong berisi bekal makanan untuk hari itu. Mereka berjalan kaki cukup jauh hingga sampai ke tempat yang disebut "mukif al-‘ummal" — terminal para buruh. Di sana telah menunggu puluhan kendaraan: mobil angkut, truk terbuka, dan bus tua yang mengeluarkan suara mesin berat.

Masing-masing kendaraan memiliki arah dan tujuannya sendiri—yang ini menuju Yafa, yang itu ke Asdod, dan yang lainnya ke Tel Aviv atau kota-kota lain. Para sopir berdiri di samping kendaraan mereka, berteriak lantang menyebut nama kota tujuan. Para buruh pun berdatangan seperti aliran air, memenuhi mobil satu per satu, hingga kendaraan bergerak membawa mereka menjemput rezeki di tanah yang dulu pernah menjadi milik mereka—dan kini hanya bisa mereka masuki sebagai pekerja kasar.

Para penjaja kaki lima pun mulai bermunculan, menyeret gerobak mereka di antara dinginnya pagi yang menggigit. Mereka membawa wajan dan periuk besar, mengusung aroma hangat falafel*, ful**, dan sahleb*** yang menguar ke udara, seakan mencoba menyuntikkan secercah kenyamanan dalam pagi yang berat.

Para buruh berdatangan dengan langkah cepat, mata masih sembab oleh kantuk yang belum tuntas. Di tangan mereka, sebuah kantong kecil berisi roti atau sepotong keju, dan di saku mereka, beberapa qirsh yang dikumpulkan dari hari-hari panjang. Mereka menukar uang receh itu dengan sepotong falafel, sebungkus ful panas, atau secawan sahleb, menggenggamnya erat seperti menggenggam sisa-sisa kemanusiaan yang masih bisa mereka beli.

Kemudian, satu demi satu, mereka menaiki truk-truk tua dan bus-bus berderit yang berdiri seperti makhluk lelah di bawah langit subuh. Di dalamnya, mereka duduk berdesakan, saling bersandar, dan mencoba mencuri sisa-sisa tidur di antara deru mesin dan denting logam. Kepala mereka terangguk-angguk, tak hanya karena kantuk, tapi karena kepasrahan yang sudah terlalu sering ditelan.

Mereka menuju kota-kota yang dulu adalah milik mereka. Yafa, Asdod, Tel Aviv—kini menjadi tempat mereka menyambung hidup sebagai buruh di tanah yang telah dirampas, tanah yang menjadikan mereka terusir lalu menggantungkan hidup padanya. Mereka pergi tanpa suara, tapi tiap langkah mereka adalah teriakan. Mereka tidak membawa senjata, hanya cangkul dan palu, namun setiap tetes keringat yang menetes adalah bukti bahwa mereka masih berdiri, bahwa mereka belum mati.

Para buruh itu bekerja membanting tulang di dunia yang keras dan sunyi dari belas kasih. Mereka dipekerjakan dalam pembangunan gedung-gedung, dalam ladang-ladang yang luas terbakar matahari, atau dalam pekerjaan-pekerjaan kasar seperti tukang kebersihan yang enggan disentuh oleh tangan-tangan Yahudi. Mereka diserahkan pada tugas-tugas yang paling melelahkan, yang paling diremehkan, sementara sang majikan Yahudi berdiri di atas kepala mereka, mengawasi setiap gerak, mengeluarkan perintah tanpa henti—seperti penguasa atas tubuh-tubuh yang hanya dihargai selama masih mampu memikul beban.

Ketika jarum jam menyentuh angka sepuluh pagi, mereka diberi jeda waktu sebentar, setengah jam saja, untuk mengisi perut yang telah merintih sejak fajar. Di sela jeda itu, mereka mengeluarkan bekal seadanya: sepotong roti kering, segenggam zaitun, dan secangkir teh yang jika beruntung sempat mereka panaskan. Lalu, tanpa banyak bicara, mereka kembali berdiri, kembali memikul dunia yang tak pernah memberi mereka tempat menetap.

Saat matahari mulai tenggelam, ketika bayang-bayang mereka memanjang di tanah yang tak lagi diakuinya sebagai milik mereka. Mereka mengakhiri hari dengan tubuh nyaris remuk. Lalu menyusuri jalanan, mencari kendaraan tua yang akan membawa mereka pulang ke Gaza atau ke desa-desa di Tepi Barat. Di dalam mobil yang sempit dan berguncang itu, mereka terlelap dalam kelelahan yang pekat—tidur bukan sebagai istirahat, melainkan sebagai bentuk pelarian sejenak dari kerasnya hidup.

Dan saat mereka tiba di rumah, malam telah menggulung hari. Mereka kembali ke pangkuan keluarga dengan tangan kosong dari kemewahan, tapi penuh dengan debu perjuangan.


*bola-bola kacang khas Timur Tengah

**kacang tanah rebus

***susu tradisional khas Timur Tengah, biasanya terbuat dari sari umbi-umbian



Bersambung...

Penerjemah : Nidda, Editor : Sabilillah

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama