Kakakku Mahmud diterima di Fakultas Teknik Universitas Kairo. Saat kabar itu tiba, rumah kami meledak dalam sorak dan tawa. Kami merayakannya seperti biasa—dengan berteriak riang, menyerbu Mahmud, memukulnya pelan, mencubitnya penuh kasih. Ibu pun menyiapkan nampan besar berisi halba, kudapan manis yang jadi lambang suka cita kami, dan tak lama kemudian datanglah ucapan selamat dan juga doa-doa penuh haru.
Mahmud mulai bersiap untuk perjalanan besar menuju Mesir. Tapi lapak sayur-mayur kami tak boleh berhenti—karena dari sanalah biaya kuliahnya akan ditopang selama bertahun-tahun mendatang. Maka, Hasan pun mengambil alih pengelolaannya, menyesuaikan antara tanggung jawab dagang dengan jadwal sekolahnya.
Mahmud sendiri tetap membuka lapak sampai hari terakhir sebelum keberangkatannya. Ia tak pernah lalai, bahkan di hari-hari terakhir, tetap bekerja seakan waktu masih lama. Sementara itu, aku harus mengambil alih sebagian tugas—membantu kakakku Muhammad bekerja di pabrik milik paman kami, membersihkan dan merapikan tempat itu, menyambut dunia kerja dari lorong mudanya usia kami.
Menjelang keberangkatan Mahmud ke Mesir, Ibu mempersiapkan banyak barang untuk ia bawa. Ia menyiapkan botol kecil berisi minyak zaitun, sekantong teh, daun molokhia kering, okra kering, dan barang-barang lain serupa—rasa rumah yang akan menemaninya jauh dari tanah ini.
Dari uang yang telah lama mereka tabung, keluarga kami menukarkannya menjadi pound Mesir di pasar valuta. Uang itu lalu dibawa Mahmud ke tukang jahit, yang menjahitnya rapi ke dalam sabuk celana, di balik lapisan kain, tersembunyi tanpa bekas. Sebab kami tahu, para petugas bea cukai Yahudi di perbatasan akan menyita uang itu jika ditemukan, melarang siapa pun membawa dana ke Mesir. Maka, uang untuk hidup Mahmud di tanah asing harus disembunyikan dengan cerdik—demi ilmu, demi masa depan".
Mahmud mulai bolak-balik ke kantor Palang Merah, yang saat itu mengatur perjalanan mahasiswa dari Gaza ke Mesir dan kepulangan mereka, melalui koordinasi antara otoritas penjajah dan pemerintah Mesir. Hingga akhirnya ia mengetahui tanggal keberangkatannya.
Namun, sebelum bisa berangkat, seperti halnya mahasiswa lain, ia diwajibkan mendatangi kantor intelijen di kompleks as-Saraya. Di sana mereka menjalani pemeriksaan dan interogasi—dimintai keterangan, ditekan dengan pertanyaan-pertanyaan tajam, dan diperingatkan agar tidak berhubungan dengan organisasi mana pun.
Di balik tatapan dingin petugas, tersembunyi niat gelap: mencari siapa saja yang bisa direkrut, diperalat, dijadikan mata dan telinga penjajah di negeri asing. Sebuah ujian awal bagi pemuda yang hendak melintasi batas tanah kelahiran—bukan hanya secara geografis, tetapi juga secara moral dan prinsip.
Di malam terakhir sebelum keberangkatan Mahmud, kami semua begadang bersamanya lebih lama dari biasanya. Ia akan meninggalkan kami—dan akan jauh dari pandangan kami selama hampir setahun penuh.
Malam itu penuh warna. Tawa bercampur isak, suka menyatu dengan duka, harapan melilit erat pada rasa kehilangan. Perasaan-perasaan yang bertabrakan namun berjalan beriringan, seperti gelombang di laut yang tak kunjung tenang.
Dan di tengah semuanya, suara Ibu mendominasi: penuh nasihat, berisi perintah, dan limpahan cinta yang cemas. Ia menumpahkan isi hatinya kepada Mahmud—seperti hendak menanamkan seluruh pengalaman hidup ke dalam dadanya dalam satu malam—agar anaknya siap menapaki dunia di luar pelukan Gaza.
Pagi itu kami bangun lebih awal dari biasanya. Ibu telah bersiap—dua koper besar bekas yang pernah dipakai orang lain kini terisi penuh. Mahmud sendiri yang dulu membelinya, dan kini di dalamnya tertata semua barang dan keperluan yang akan menemaninya jauh dari rumah.
Kakakku Hasan memanggul koper pertama, dan sepupuku Hasan yang lain mengangkat koper kedua. Ibu ikut berjalan bersama mereka, langkahnya penuh berat, menemani Mahmud hingga titik akhir perpisahan.
Kami—anak-anak yang tinggal—mengiringi mereka hanya sampai ke ujung gang. Di sana, kami memeluk Mahmud untuk terakhir kalinya, lalu berbalik pulang.
Langkah kaki kami lesu, dan di hati mulai tumbuh kesadaran yang sunyi: bahwa perpisahan dengan orang yang dicintai bukan hanya soal jarak, tapi luka kecil yang menetap di sudut jiwa.
Mereka mengantarkan Mahmud hingga ke kantor Palang Merah. Di sana, kerumunan orang telah memadati tempat—semua datang mengantar anak-anak mereka dengan mata basah dan hati yang terguncang.
Para mahasiswa sudah duduk di dalam bus, sementara para keluarga berdiri di kejauhan, memandangi mereka dari balik jarak yang tak bisa ditembus. Mereka melambaikan tangan, diam-diam mengucap doa, berharap lambaian itu mampu menyampaikan kasih yang tak sempat terucap.
Lalu, bus-bus pun mulai bergerak. Suara mesinnya mengoyak keheningan pagi, dan para ayah dan ibu tetap berdiri di tempat, tangan mereka masih terangkat, tetap melambai... hingga bus-bus itu lenyap dari pandangan—membawa serta harapan, kecemasan, dan sepotong jiwa mereka yang tertinggal di balik kaca.
***
Beberapa hari setelah kepergian Mahmud, datanglah salah satu tetangga perempuan mengadu bahwa sepupuku, Hasan, telah mengganggu dan menggoda salah satu putrinya.
Wajah Ibu seketika memerah, tersipu oleh malu yang pahit. Ia berusaha menenangkan sang tetangga dan berjanji akan mengakhiri masalah itu secepatnya.
Namun, keadaan di rumah tak semudah dulu. Kakek sedang terbaring lemah dalam sakit dan ketidakberdayaannya, sementara Mahmud telah jauh di Mesir. Yang tersisa hanyalah anak-anak yang lebih muda dari Hasan—dan Hasan sendiri kini telah tumbuh besar, menjelma lebih kuat dari siapa pun di rumah. Menaklukkannya dengan amarah semata bukan lagi pilihan.
Maka, Ibu mulai merancang pendekatan yang lain: bukan dengan bentakan, melainkan dengan siasat. Ia memilih jalan melalui bujukan, berharap bisa menundukkan Hasan bukan lewat kekerasan, tapi lewat kata-kata yang menusuk hati.
Saat senja turun dan bayangan malam mulai merayap ke dinding rumah, ibu memanggil Hasan. Ia duduk bersamanya, menatapnya dengan mata yang dalam namun lembut, lalu mulai bicara pelan namun penuh makna, "Nak, dengarkan aku baik-baik... Kita punya tetangga. Dan tetangga itu punya hak atas kita. Ayahmu syahid, kau tahu itu. Nama baiknya, kisah hidupnya, kehormatan keluarga kita… semua itu ada di pundakmu sekarang. Bagaimana nanti orang-orang bicara kalau engkau tidak menjaga itu semua?".
Hasan tertunduk. Suaranya pelan ketika akhirnya berkata bahwa ia tak akan lagi mendekati anak tetangga itu. Ibu memandangnya lekat dan bertanya: "Ini janji kehormatan, ya Hasan?". Dan Hasan menjawab lirih, namun tegas: "Janji kehormatan, wahai Bibi".
Beberapa hari kemudian, tetangga kami kembali datang—wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar. Ia masuk ke rumah sambil berseru dengan suara tinggi,
'Wahai Umu Mahmud, anak itu benar-benar sudah tak bisa diatur! Dia menyudutkan anak perempuanku di jalan, bahkan sempat menyentuhnya!".
Ibu tersentak, amarah memuncak di matanya. Tapi alih-alih membalas dengan kemarahan serupa, ia menenangkan sang tetangga dan mempersilahkannya duduk, "Duduklah, wahai Umu al-Abid. Engkau tahu, di rumah ini maupun di rumahmu, tak ada lagi laki-laki yang cukup kuat untuk menegur dan menghentikan perbuatan seperti ini. Demi Tuhan, kau tahu bahwa putrimu seperti putriku sendiri".
Keduanya duduk, gelisah. Di udara tergantung kecemasan dan rasa bersalah yang sama-sama dalam.
Ibu mengusulkan, dengan suara berat, "Malam nanti, saat Hasan tertidur, akan kuikat ia. Aku dan anak-anak akan memberinya pelajaran. Dan kalau dia masih mengulanginya, tak ada pilihan lain. Aku akan memanggil salah satu pasukan gerilya untuk menegurnya... dan biarlah yang terjadi, terjadi".
Ibu menyiapkan seutas tali dan sebatang tongkat. Saat Hasan pulang malam itu—setelah makan malam dan beranjak ke tempat tidurnya—ibu masuk ke kamarnya bersama abangku Hasan dan abangku Muhammad. Setelah memastikan ia benar-benar tertidur, ibu perlahan mengikat tangan dan kakinya dengan tali, hati-hati dan tanpa suara.
Kemudian, ibu membangunkan kakek dan memberitahunya apa yang dilakukan Hasan kepada anak perempuan tetangga. Kakek, yang tubuhnya sudah renta dan gemetar karena sakit, mulai bergumam dengan suara patah, "Semoga wajahmu menghitam karena aib, wahai Hasan... semoga wajahmu menghitam... Pukuli dia! Patahkan tangan dan kakinya!".
Hasan terbangun dan mendapati dirinya dalam keadaan terikat. Ia mulai berteriak, mengancam dan mengumpat. Tapi tongkat sudah lebih dulu bicara—menimpa pinggang dan punggungnya. Ia melawan dengan kata-kata kasar, tapi pukulan-pukulan terus mendarat. Ibu berkata dengan suara keras namun tertahan, "Kami lakukan ini di dalam rumah... agar aib ini tak sampai keluar. Tapi kalau kau ulangi perbuatanmu pada Suad, aku sendiri yang akan panggil para pejuang—dan saat itu tak ada lagi yang bisa melindungimu. Biarlah tangan dan kakimu mereka yang patahkan".
Setelah puas menghajarnya, mereka meninggalkannya dengan keadaaan tetap terikat hingga pagi.
Barulah saat matahari naik, ibu memanggil Ibrahim, sepupuku, untuk melepaskannya".
***
Ibrahim adalah anak yang baik, penurut, cerdas, dan rajin dalam belajar. Pagi itu, ia pergi dan melepaskan ikatan tali dari tubuh kakaknya. Tapi begitu bebas, Hasan langsung memukulnya sambil mengumbar ancaman dan sumpah serapah. Ia lalu menerjang ke kamar kami, matanya menyala dengan amarah, dan menghadapkan tubuhnya ke ibu—mengancam, menggertak, berusaha menakutinya.
Tapi ibu tak gentar sedikit pun. Ia berdiri tegak, membalas dengan suara lantang yang bergetar oleh keberanian, "Hei! Jangan kau kira kau bisa menakut-nakutiku! Kau itu cuma lelaki sembarangan! Orang seperti kau tak bisa menakuti siapa pun! Seumur hidupmu, kau tak akan pernah jadi lelaki sejati... tak akan pernah!".
Hasan menggeram—suara marahnya menggelegar, lalu ia maju mendekati ibu dan mendorongnya hingga tubuhnya terhuyung dan jatuh ke lantai. Seketika, kami—anak-anak lelaki dan perempuan—meloncat seperti bara yang disiram bensin. Kami menerkamnya, menjatuhkannya ke tanah, memukulnya, menggigitnya, dan menjambak rambutnya. Hasan bangkit sambil menendang, memaki, menyumpah, dan memuntahkan kemarahannya ke segala arah, lalu berlari keluar rumah seperti badai yang patah arah.
Hasan keluar... dan tak pernah kembali.
Kami mulai mencari tahu ke mana ia pergi. Lama-lama desas-desus sampai ke telinga kami: katanya ia menyeberang ke tanah yang diduduki sejak 1948—tanah yang sekarang disebut Israel. Di sanalah ia bekerja, dan dari sanalah ia memutuskan: ia tak akan kembali ke bangku sekolah, tak akan kembali ke kampung, tak akan kembali ke kami.
Kesehatan kakek memburuk... dan akhirnya ia menyerahkan jiwanya kepada Sang Pencipta. Kami mengantarnya dengan tangis yang tumpah ruah, air mata tak henti membasahi pipi. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya yang luas untuknya, dan menempatkannya di taman-taman surga yang lapang.
Kakek wafat—tanpa pernah tahu kabar ayahku yang telah lama menghilang lebih dari lima tahun lamanya. Ia juga tak sempat menatap cucunya yang melarikan diri dari Gaza demi bekerja di tanah yang diduduki. Dan ia tak mendapati Mahmoud di sisinya, cucunya yang paling ia banggakan, yang kala itu telah menyeberang jauh menuntut ilmu.
Namun kami, yang tinggal, tetap menunaikan apa yang seharusnya. Para tetangga berdiri bersama kami dalam kehilangan. Sebab begitulah kamp pengungsian ini—ia seperti satu keluarga besar, saling menopang dalam duka dan suka, dalam tangis dan tawa.
Bersambung BAB 8
Penerjemah : Nidda, Editor : Sabilillah

Posting Komentar