SEBUAH NOVEL PERJUANGAN DARI YAHYA SINWAR - 3/1

Baca sebelumnya.. 

BAB 3 

Hari Jumat itu, Ibu memakaikan kami pakaian terbaik yang kami miliki — pakaian yang telah ia jahit ulang dari bahan-bahan yang kami peroleh atas jatah (ḥiṣṣah) distribusi bantuan. Semua itu demi persiapan mengunjungi rumah Paman Shāliḥ untuk bertemu Bibi Fatiḥiyyah dan memberikan selamat atas pertunangannya yang akan segera dilangsungkan.

Lalu Ibu membawa kami bertujuh menyusuri jalanan selama berjam-jam. Kami melintasi batas-batas kamp, dan melangkah ke salah satu jalan raya utama — jalan yang dari waktu ke waktu dilalui oleh mobil-mobil jip militer maupun sipil yang memuat para serdadu. Mereka menggenggam senapan, mengacungkannya kepada siapa saja yang lewat, dan kendaraan-kendaraan itu merayap lambat, seolah mencium bau ketakutan di udara.

Perjalanan terasa begitu lama, hingga akhirnya kami sampai di rumah Paman Shāliḥ. Rumah itu jauh lebih baik daripada gubuk kami. Atapnya bukan dari genting seperti rumah kami, melainkan dari beton yang kokoh. Lantainya dilapisi ubin, dan—kemewahan yang bagi kami terasa seperti mimpi—ada listrik di sana.

Kakakku, Maḥmūd lalu mengetuk pintu.

Pintu kemudian terbuka. Yang membukanya adalah sepupuku, Wardah. Ia segera berteriak dengan suara penuh kehangatan dan kejutan, “Ini bibi dan anak-anaknya!” Ia menyalami kami satu per satu, kemudian kami pun melangkah masuk ke dalam rumah.

Di dalam, Paman Shāliḥ, istri paman, Bibi Fatiḥiyyah, dan putri mereka yang lain 'Su‘ād' menyambut kami dengan senyum dan pelukan, menjabat tangan-tangan kecil kami dan menebarkan rasa gembira yang tulus, seakan rumah itu sedang memanggil kembali bagian dirinya yang sempat hilang.

Bibi menyambut kami dengan pelukan hangat dan mencium kami satu per satu—Ibu, saudara-saudara  laki-laki dan perempuanku. Ibu dan semua saudaraku mengucapkan selamat atas pertunangan yang akan segera dilangsungkan. Mereka duduk, berbincang dengan hangat.  Sementara kami, anak-anak, larut dalam dunia kami sendiri—berlari, bermain, saling mengejar dalam tawa yang mengisi setiap sudut rumah.

Menjelang sore, kami pun pulang, kembali ke rumah.

Beberapa hari kemudian, saat Maḥmūd dan Ḥasan pulang kerja dari pabrik paman, mereka menyampaikan pesan dari Paman Shāliḥ yang meminta mereka memberi tahu Ibu bahwa rombongan pihak laki-laki akan datang hari Jumat depan untuk melangsungkan akad nikah dengan Bibi Fatiḥiyyah.

Dan sekali lagi—seperti Jumat sebelumnya—Ibu mempersiapkan kami dengan pakaian terbaik yang kami miliki. Selepas Zuhur, kami berangkat menuju rumah paman.

Tak lama kemudian, datanglah tiga mobil yang membawa sejumlah pria dan wanita. Mereka turun dan memasuki rumah paman dengan wajah-wajah serius dan langkah-langkah yang membawa beban harapan dan masa depan.

Seperti biasa, anak-anak saling berbisik, saling tunjuk, sorot mata mereka tertuju pada satu sosok—seorang pemuda berkulit sawo matang, dengan kumis tipis menghiasi wajahnya.

Itu dia! Calon pengantin laki-laki,” bisik mereka.

Para lelaki duduk berderet di ruang tamu, dan di tengah-tengah mereka duduk seorang syekh, mengenakan tarbūsh merah yang menjulang khidmat di atas kepalanya.

Para wanita duduk di salah satu kamar.  Sementara kami, anak-anak, tak kenal lelah atau istirahat, berlarian ke sana kemari—menyusuri kamar-kamar, keluar masuk rumah, bahkan bergelantungan pada mobil-mobil yang terparkir di luar.

Dunia kami adalah dunia kecil yang gaduh dan bebas, sementara di dunia para pria, mereka sibuk bersama sang syekh yang sedang memimpin prosesi akad.  Dan para wanita, mereka sibuk di dunia lain—dunia penuh bisik dan senyum gugup, bersama sang pengantin wanita, Bibi Fatiḥiyyah.

Salah satu kenangan yang tak terlupakan di hari itu adalah kami makan baklava dalam jumlah yang nyaris tak terhitung. Kami melahapnya tanpa ragu, tanpa batas, hingga ibuku mulai cemas, takut perut kami tak kuat menanggung kebahagiaan yang terlalu manis itu.

Dan akhirnya, mereka pun menyepakati: sang pengantin wanita akan segera dibawa.

****

Sekitar sebulan setelahnya, dalam kelam malam yang pekat, ketika keheningan menekan rumah-rumah miskin nan nelangsa di kamp pengungsian—malam yang nyaris membekukan napas.

Tak ada suara, kecuali lolongan anjing dari kejauhan, atau suara kucing yang mengeong pilu, mencari anaknya—anak yang telah diambil oleh salah satu bocah untuk dipelihara, dengan harapan ketika besar nanti ia akan memburu tikus-tikus yang mengganggu tidur keluarga di malam-malam yang tak pernah benar-benar tenang.

Di lorong-lorong kecil kamp—lorong-lorong yang saling bertaut seperti simpul dari kesempitan hidup, meski jam malam diberlakukan dan bahaya bisa saja menyergap dari segala penjuru,

Abu Ḥātim menyusup—seperti seekor kucing. 

Ia meluncur pelan, membelah lorong-lorong sempit itu dengan kelincahan dan kewaspadaan, sesosok  makhluk yang sudah terbiasa hidup di balik bayang-bayang. Setiap kali ia akan berbelok di sebuah sudut, ia berhenti sejenak—mengawasi, mengendus kemungkinan adanya musuh yang berkeliaran atau bersembunyi.

Dan ketika yakin tak ada satu pun bahaya mengintai, ia kembali bergerak, mengalir dalam diam malam seperti bayangan yang enggan dikenali.

Abu Ḥātim adalah lelaki tinggi, tubuhnya tegap dan ramping—kekuatannya terpahat dari tahun-tahun perjuangan. Ia mengenakan kūfiyyah yang membungkus kepala dan wajahnya, menyisakan hanya sepasang mata yang mengintai dunia dari celah-celah kegelapan.

Dulu, ia adalah seorang shāwīsh (komandan lapangan) dalam pasukan Tentara Pembebasan Palestina di masa pemerintahan Mesir atas Jalur Gaza. Ia turut bertempur dalam Perang 1967 dengan keberanian luar biasa. Namun apa yang bisa ia lakukan dan beberapa pemberani sepertinya dalam peperangan yang secara keseluruhan telah ditentukan untuk kalah?

Malam itu, Abu Ḥātim menyusup kembali ke jalan-jalan dan gang-gang kamp yang dikenalnya seperti garis-garis di telapak tangannya. Ia berhenti sejenak, meneliti keadaan sekitar dengan pandangan setajam bilah, lalu melesat ke jendela sebuah rumah. Dengan hati-hati, ia mengetuk sisi jendela: tiga ketukan, lalu satu, kemudian dua —sebuah sandi.

Ya, ini nyata.

Dari balik jendela, seseorang mendekatkan wajahnya dan berbisik nyaris tak terdengar:

"Siapa?"

Dan suara dari luar membalas dengan bisikan serak penuh kerinduan:

"Abu Ḥātim..."

Lelaki di dalam, Abu Yūsuf, tergagap pelan,

Tak mungkin… ini tak mungkin…

Lalu suara dari luar menegaskan lembut,

Benar wahai Abu Yūsuf… ini benar”.

Abu Yūsuf pun membisik,

Akan kubukakan pintu…

Abu Ḥātim menyelinap masuk, dan begitu pintu tertutup, kedua lelaki itu saling mendekap dalam pelukan penuh rindu dan kelegaan—dua saudara seperjuangan yang telah lama tercerai oleh bahaya.

"Tak bisa dipercaya... alhamdulillah kau selamat, Abu Ḥātim," gumam Abu Yūsuf dengan suara gemetar dan mata yang nyaris berkaca.

Umm Yūsuf telah terbangun. Ia menutup kepalanya dengan selendang, lalu keluar dari kamarnya. Ia mendekat, berbisik dengan suara lembut dan penuh rasa syukur,

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas keselamatanmu Abu Ḥātim... Silakan, saudaraku, silakan masuk”.

Abu Yūsuf dan Abu Ḥātim masuk ke dalam kamar, sementara Umm Yūsuf bergegas menuju dapur.

Namun Abu Ḥātim segera berkata pelan,

Jangan siapkan makanan, jangan teh, jangan nyalakan kompor...

Umm Yūsuf menoleh, matanya penuh keheranan:

Ada apa, Abu Ḥātim? Kau pikir kau datang ke rumah orang tak punya?

Nada suaranya setengah tergelak, setengah menegur, seperti seorang kakak yang tak terima tamunya merendah.

Abu Ḥātim tersenyum. Ia berbisik penuh kasih, “Semoga keselamatan untuk kalian dan semua kebaikan yang kalian miliki. Namun aku tak lapar. Aku tak ingin ada suara yang mencurigakan—tak ingin suara api kompor sampai ke telinga yang tak seharusnya mendengar”.

Ia menunduk sedikit, seakan mencium tanah rumah itu dengan rasa hormat.

Semoga keselamatan atas kalian dan atas kebaikan kalian…”, ucapnya sekali lagi, sebagai doa dan peringatan dalam satu napas.

Umm Yūsuf berbalik sambil berbisik,

Baiklah… Akan kubawakan sedikit roti dan zaitun”.

Abu Ḥātim tersenyum, membalas dengan suara pelan, “Baiklah… Aku tahu kau takkan membiarkanku pergi tanpa makan di rumah kalian. Begitu kan Umm Yūsuf...

Senyum itu bukan sekadar gurauan—namun penghormatan pada keramahan yang tak pernah padam, bahkan dalam malam-malam yang penuh ancaman.

Abu Yūsuf, sejak tadi hanya tersenyum diam-diam. Kemudian bersama Abu Ḥātim,  keduanya mulai berbisik, saling berbagi cerita dalam nada yang nyaris tak terdengar.

Abu Yūsuf bertanya,

Di mana kau selama ini? Demi Allah, aku mengira kau sudah gugur… atau mungkin pergi ke Mesir…

Abu Ḥātim menarik napas perlahan lalu menjawab lirih,

Aku terluka saat baku tembak di daerah kamp tengah… Aku merangkak hingga mencapai sebuah mobil. Dan di sanalah sebuah keluarga Badui menemukanku”.

Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan sorot mata yang tenang,

Mereka membawaku, mengobati luka-lukaku, memberi makan, dan menyembunyikanku hingga aku sembuh”.

Umm Yūsuf perlahan masuk, memberi salam dengan suara lembut, dan mereka membalas dengan bisikan yang sama. Ia meletakkan sebuah nampan dari anyaman rotan, di atasnya beberapa potong roti, sepinggan zaitun, dan di sampingnya sebuah kendi air tanah liat. Kemudian ia meninggalkan kamar itu, menuju ke ruang anak-anak yang diterangi oleh lampu minyak tanah yang bergoyang pelan, seolah-olah menari kegirangan dalam ruang kecil yang atapnya terbuat dari genteng sederhana.

Sementara itu, Abu Ḥātim dan Abu Yūsuf saling mendekatkan wajah mereka, setiap kata yang keluar berbisik, hampir terpendam dalam hembusan napas.

Abu Yūsuf bertanya dengan suara penuh harap, “Apakah ada di antara anak-anak muda yang masih hidup?”

Abu Ḥātim menjawab dengan tenang,

Ya, banyak. Aku dan Abu Māhir di Khan Yūnis, Abu Ṣaqr di Rafah, dan Abu Jihād di kamp-kamp tengah. Mereka masih hidup, dan aku bertemu mereka secara langsung. Kami sepakat untuk melanjutkan perjuangan, memulai perlawanan lagi”.

Dalam kalimat itu, terpendam semangat yang menyala, meski dunia di luar mereka penuh kegelapan. Sebuah janji untuk terus berjuang, untuk melanjutkan apa yang telah dimulai—meski hanya dalam bisikan.

Abu Yūsuf mendekatkan mulutnya ke telinga Abu Ḥātim, bertanya dengan penuh rasa ingin tahu,

Apa kabar dengan al-Mukhtār (Pemimpin)?”.

Bersambung ... 


Penerjemah : Nidda, Editor : Shofi 




















Post a Comment

Lebih baru Lebih lama