SEBUAH NOVEL PERJUANGAN DARI YAHYA SINWAR - 3/2

 

Episode sebelumnya 

Dalam kalimat itu, terpendam semangat yang menyala, meski dunia di luar mereka penuh kegelapan. Sebuah janji untuk terus berjuang, untuk melanjutkan apa yang telah dimulai—meski hanya dalam bisikan.

Abu Yūsuf mendekatkan mulutnya ke telinga Abu Ḥātim, bertanya dengan penuh rasa ingin tahu:
“Apa kabar dengan al-Mukhtār (Pemimpin)?”

Baca episode sebelumnya ...

Abu Ḥātim mendekat dan berbisik,“Aku dengar ia masih hidup dan bergerak di kebun-kebun timur, dekat Syujā‘īyah dan Zaitūn. Aku sedang mencoba mencarinya, mungkin dalam beberapa hari aku akan menemukannya”. Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan semangat yang berkobar,“Yang penting, kita harus mulai mengatur gerakan, agar perlawanan dilakukan di seluruh wilayah Gaza sekaligus. Tanah ini baik, Abu Yūsuf, tanah ini masih penuh harapan. Para pemuda siap dan sudah menunggu—mereka hanya butuh seseorang untuk mengatur segala sesuatunya dan memulai api perjuangan”. Abu Ḥātim menundukkan kepalanya sejenak, kemudian melanjutkan dengan nada bertekad, “Kita semua harus bertemu pada Jumat pagi, merencanakan aksi”.

"Ṣāliḥ al-Mahmūd akan menikahkan saudarinya, dan ia akan membawa pengantin ke Khalīl. Rumah mereka akan kosong pada malam hari," ujar Abu Ḥātim sambil merencanakan dengan penuh kehati-hatian, "Saya sudah sepakat dengannya agar ia meninggalkan kunci di bawah ambang pintu. Sekelompok pemuda akan berkumpul di sana untuk merencanakan semuanya dan memulai pekerjaan secepatnya, InsyaaAllah."

Ia melanjutkan dengan yakin, "Kamu tahu rumah Ṣāliḥ, kan? Kita akan bertemu di sana hari Jumat setelah makan malam. Bagi siapa yang datang terlambat cukup ketuk jendela dengan cara yang sama."

Sementara itu, Abu Ḥātim menyantap beberapa potong roti, tiap suapannya dilengkapi zaitun. Ia menghisap biji zaitun dengan teliti, seolah-olah menikmati setiap detilnya. Cara itu menandakan betapa ia menghargai tuan rumah dan betapa ia merasakan kehangatan yang dipenuhi oleh kecintaan dalam rumah itu—sebuah penghormatan pada Umm Yūsuf, istri sahabatnya, yang dengan sepenuh hati menyambutnya.

Pada hari Jumat, kami bersiap sejak pagi, mengenakan pakaian terbaik yang kami miliki, lalu berangkat menuju rumah Paman Ṣāliḥ. Meskipun kami tiba lebih awal, rumah paman sudah dipenuhi dengan orang-orang, segala kesibukan dan persiapan pernikahan.

Kami sibuk bermain, sementara saudara-saudariku bergabung dengan para perempuan lain untuk memukul rebana, bernyanyi, dan menari dengan sukacita. Mahmūd dan Ḥasan  menata kursi dan menyiram air ke halaman depan rumah Paman agar debu tak berterbangan.

Ibu bersama istri Paman Ṣāliḥ dan perempuan-perempuan lain sibuk mempersiapkan pengantin wanita dan menata koper pakaiannya. Sementara itu, Paman berlari dari satu tempat ke tempat lain, sibuk dengan seribu hal sekaligus.

Pada hari itu, orang-orang terus berdatangan, suara anak-anak semakin terdengar jelas, sementara tugas penting diambil alih oleh seorang gadis tua, salah satu tetangga Paman dan para sahabatnya, yang mengendalikan keramaian dengan cekatan.

Tak lama setelah itu, beberapa mobil dan sebuah bus tiba, membawa beberapa anggota keluarga pengantin pria. Mobil-mobil itu berhenti, dan orang-orang pun turun, di antaranya yaitu seorang pengantin pria, ʿAbdul-Fattāḥ. Tabuhan rebana dan lagu-lagu tradisional mulai terdengar, meskipun dengan dialek khas daerah Dufah . Mereka berjalan menuju ke rumah paman, di mana Paman dan beberapa pria lainnya keluar untuk menyambut mereka.

Pria-pria itu saling berjabat tangan dan berpelukan, sementara para wanita saling mencium pipi satu sama lain dalam suasana penuh kehangatan. Wanita-wanita itu kemudian masuk ke dalam ruang tamu, sementara para pria duduk di halaman rumah.

Baklavā (kue manis) dibagikan di piring-piring, dan saudaraku Mahmūd adalah yang paling aktif di antara para petugas yang membagikannya. Ia juga membagikan minuman merah kepada para tamu, sementara suara rebana dan nyanyian wanita terus menggema.

Keadaan ini berlangsung selama sekitar satu jam, dan sepanjang waktu itu Paman terus berbicara dengan pengantin pria dan ayahnya, bersama beberapa pria lainnya yang tak kukenal. Kemudian, Paman masuk ke rumah dan acara dimulai.

Pengantin pria dan ayahnya berdiri di pintu dengan iringan rebana serta nyanyian wanita. Paman keluar sambil memegang lengan saudarinya, Bibi Fatiḥiyyah, yang mengenakan gaun putih dan kerudung putih yang menambah kecantikannya. Ia tampak seperti bulan purnama, melangkah perlahan menuju pintu, hingga pengantin pria menerima tangannya dari lengan Paman. Suara zaghārīd (nyanyian gembira) pun mengiringi momen itu.

Pengantin berjalan menuju salah satu mobil, dan semua orang bergerak mengikutinya. Ibu sepanjang waktu berada di dekat Paman dan Bibi Fatiḥiyyah, yang duduk di sampingnya. Pengantin pria dan wanita naik ke dalam mobil yang dihias, sementara pria dan wanita lain mulai memasuki mobil-mobil dan bus yang sudah disediakan.

Ibu menoleh, mencari-cari Mahmūd dan berteriak kepadanya,“Bawa adik-adikmu pulang ke rumah! Aku akan membawa mereka lagi besok. InsyaaAllah aku akan kembali ke sana. Semua hal sudah siap di rumah, sayang.  Tidak akan ada yang kamu butuhkan sampai aku kembali. Perhatikan kakek dan sepupu-sepupumu. Tutup pintu sebelum jam malam, dan apapun yang terjadi jangan buka pintu sampai matahari terbit".

Mahmūd mengangguk, memastikan ia paham dengan peranannya, seperti biasa. Ia selalu memahami petunjuk yang diberikan Ibu dengan cepat dan melaksanakannya tanpa ragu. Fāṭimah mendekap Maryam di pelukannya, lalu Ibu, istri Paman, saudara-saudariku naik ke dalam salah satu mobil. Mahmūd pun menjalankan tugasnya, mengumpulkan kami semua di dekat Kakek, yang berdiri dengan bertopang pada tongkatnya.

Setelah semua orang naik ke mobil dan ayah pengantin pria serta Paman selesai mengatur segala hal, Paman meminta izin sebentar untuk menutup pintu rumah. Ia bergegas kembali ke rumah, mengambil sebuah kantong dari dapur, lalu menaruhnya di kamar tamu. Setelah itu, ia menutup pintu utama, menjatuhkan sesuatu dari tangannya dan membungkuk untuk mengambilnya. Dengan hati-hati, ia menyembunyikan kunci rumah di bawah ambang pintu, lalu meluncur menuju mobil yang sudah menunggu. Lalu mereka berangkat. Sementara itu, suara rebana dan nyanyian wanita terus bergema, terdengar jelas hingga mereka menghilang dari pandangan.

Kami pun kembali bersama Kakek, pulang ke rumah. Kami tiba sebelum matahari terbenam. Tubuh kami terasa lelah setelah menikmati hari yang penuh dengan permainan, makanan, dan kegembiraan itu. Mahmūd menutup pintu dengan rapat, dan kami semua terlelap dalam tidur yang nyenyak.

Malam mulai menyelimuti kota Gaza, gelap, hingga sulit bagi seseorang untuk melihat jari mereka sendiri. Patroli tentara penjajah berkeliling di jalan-jalan utama kota, sementara pengeras suara mengumumkan dimulainya jam larangan keluar rumah. Kemudian keheningan menguasai kota, hanya terusik oleh suara mobil patroli yang sesekali lewat, menegaskan kedatangan mereka dan peran mereka dalam menjaga keamanan.

Dengan penuh ketenangan, tujuh orang pria menyusup masuk ke rumah Paman setelah mereka mengambil kunci dari bawah ambang pintu. Mereka tidak menyalakan lampu hingga mereka semua berhasil masuk, menutup tirai, dan menempatkan selimut di jendela di atas tirai untuk memastikan tidak ada satu pun sorot cahaya yang dapat keluar. Setelah itu, mereka menyalakan lampu dan menemukan kantong yang disiapkan Paman. Abu Ḥātim membuka kantong itu dan menemukan beragam makanan dan kue-kue manis di dalamnya. Ia bergumam, “Aṣīl, ya Ṣāliḥ, aṣīl", meskipun Paman tidak ada di rumah, ia tetap menunjukkan kemurahan hati.

Para pria duduk dalam sebuah lingkaran kecil yang rapat, mulai berbisik selama berjam-jam hingga tengah malam. Kemudian, mereka tertidur, bergantian menjaga dan berjaga, sampai fajar mulai menghampiri. Saat itu, mereka mulai menyelinap keluar dari rumah, satu per satu. Yang terakhir keluar adalah Abu Ḥātim, yang menutup pintu setelah dirinya keluar dan meletakkan kunci di bawah ambang pintu tempat semula. Mereka pun berangkat dengan penuh harapan, sambil melantunkan doa, "Dan Kami jadikan di depan mereka tembok dan di belakang mereka tembok, lalu Kami tutup penglihatan mereka sehingga mereka tidak dapat melihat."

Aku terbangun mendengar suara Kakek yang sedang melaksanakan salat Subuh. Mahmūd bangun lebih awal, menggantikan peran Ibu di pagi hari, membangunkan saudaraku Ḥasan dan Muḥammad, serta sepupuku Ḥasan dan Ibrāhīm. Ia menyiapkan sarapan untuk mereka, lalu kelimanya berangkat bersama menuju sekolah. Tinggallah aku dan Kakek di rumah sendirian.

Pada hari itu, Kakek tidak pergi ke pasar. Ketika mentari beranjak meninggi, ia membawaku untuk duduk di bawah hangatnya sinar matahari. Setelah beberapa saat, ia mulai bercerita tentang masa mudanya dan tanah air yang telah hilang. Kemudian, ia mengeluarkan kantong kecilnya, mengambil sebuah koin, dan berkata padaku, "Pergilah, beli sesuatu untukmu dan cepat kembali."

Aku berlari menuju toko Abu Khalil dan membeli beberapa butir permen asam manis. Aku kembali kepada Kakek dengan salah satu permen di mulutku. Kakek yang sedang duduk di sampingku bertanya, "Apa yang kamu beli?" Aku menunjukkan kepadanya apa yang ada di tanganku, lalu kuserahkan satu butir ke mulutnya. Ia tertawa panjang dan berkata, "Tidak, yang ini untukmu, sayang."

Aku duduk di samping Kakek, menikmati sinar matahari dan mengisap permen manis satu per satu. Waktu tengah hari semakin dekat, dan Kakek bangkit dengan bersandar pada tongkatnya seraya berkata, "Ayo Ahmad, kita pergi ke masjid untuk salat Zuhur”.

Ia meraih tanganku, dan kami berjalan bersama. Di sana, Kakek duduk untuk berwudhu, sementara aku menirunya, dan ia memandangku sambil tersenyum. Tiba-tiba, datanglah Syeikh Ḥāmid, yang melihat kami sambil tersenyum dan berkata kepada Kakek, "InsyaaAllah, anak ini akan menjadi seorang yang saleh." Kakek bergumam, "InsyaaAllah... InsyaaAllah."

Hari-hari berlalu begitu saja, dan aku mulai mampu memahami apa yang terjadi di sekitarku. Hal baru yang mulai terasa jelas adalah bangkitnya perlawanan. Setiap hari, ada operasi penembakan terhadap patroli penjajah atau pelemparan granat tangan, atau ledakan bom, dan setiap kali pasukan penjajah membalas dengan kekuatan dan kekerasan yang kejam terhadap warga sipil yang tidak bersenjata. Mereka menembak orang-orang secara acak, membunuh dan melukai mereka. Kemudian, pasukan tambahan datang dan memberlakukan jam malam di daerah tersebut, memanggil para pria untuk keluar rumah menuju ke sekolah. Di sana, para tentara memukuli dan merendahkan mereka, dan beberapa di antaranya ditangkap. Pemandangan, suara, dan kejadian yang sama terus berulang selama beberapa hari.

Perlawanan semakin meningkat dan semakin kuat, menjadi lebih berani dan penuh semangat. Bahkan, kami mulai melihat beberapa pria yang mengenakan kaffiyah, membawa senjata seperti senapan Inggris atau senapan Carl Gustav, atau membawa granat tangan, berjalan-jalan di lorong-lorong kamp, terutama menjelang malam. Hal itu sudah menjadi pemandangan yang biasa bagi kami, hingga kami mulai menyadari bahwa jam malam yang diberlakukan hanyalah kebohongan belaka yang tidak bisa menipu kami— anak-anak, ibu-ibu kami, atau sebagian kecil dari orang-orang miskin. Adapun para pejuang perlawanan, mereka menduduki kamp pada malam hari, sementara patroli penjajah tidak dapat memasuki lorong-lorong kamp dan tetap berada di jalan-jalan utama yang terbuka. Saat fajar menyingsing, para pejuang perlawanan menghilang.

Bersambung ... 

Penerjemah : Nidda, Editor : Shofi 

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama