Episode sebelumnya
Abu Ḥātim mendekat dan berbisik,“Aku dengar ia masih hidup dan
bergerak di kebun-kebun timur, dekat Syujā‘īyah dan Zaitūn. Aku sedang mencoba
mencarinya, mungkin dalam beberapa hari aku akan menemukannya”. Ia berhenti
sejenak, lalu melanjutkan dengan semangat yang berkobar,“Yang penting, kita
harus mulai mengatur gerakan, agar perlawanan dilakukan di seluruh wilayah Gaza
sekaligus. Tanah ini baik, Abu Yūsuf, tanah ini masih penuh harapan. Para
pemuda siap dan sudah menunggu—mereka hanya butuh seseorang untuk mengatur
segala sesuatunya dan memulai api perjuangan”. Abu Ḥātim menundukkan kepalanya
sejenak, kemudian melanjutkan dengan nada bertekad, “Kita semua harus bertemu
pada Jumat pagi, merencanakan aksi”.
"Ṣāliḥ al-Mahmūd akan menikahkan saudarinya, dan ia akan
membawa pengantin ke Khalīl. Rumah mereka akan kosong pada malam hari,"
ujar Abu Ḥātim sambil merencanakan dengan penuh kehati-hatian, "Saya sudah
sepakat dengannya agar ia meninggalkan kunci di bawah ambang pintu. Sekelompok
pemuda akan berkumpul di sana untuk merencanakan semuanya dan memulai pekerjaan
secepatnya, InsyaaAllah."
Ia melanjutkan dengan yakin, "Kamu tahu rumah Ṣāliḥ, kan? Kita
akan bertemu di sana hari Jumat setelah makan malam. Bagi siapa yang datang
terlambat cukup ketuk jendela dengan cara yang sama."
Sementara itu, Abu Ḥātim menyantap beberapa potong roti, tiap
suapannya dilengkapi zaitun. Ia menghisap biji zaitun dengan teliti,
seolah-olah menikmati setiap detilnya. Cara itu menandakan betapa ia menghargai
tuan rumah dan betapa ia merasakan kehangatan yang dipenuhi oleh kecintaan
dalam rumah itu—sebuah penghormatan pada Umm Yūsuf, istri sahabatnya, yang
dengan sepenuh hati menyambutnya.
Pada hari Jumat, kami bersiap sejak pagi, mengenakan pakaian
terbaik yang kami miliki, lalu berangkat menuju rumah Paman Ṣāliḥ. Meskipun
kami tiba lebih awal, rumah paman sudah dipenuhi dengan orang-orang, segala
kesibukan dan persiapan pernikahan.
Kami sibuk bermain, sementara saudara-saudariku bergabung dengan
para perempuan lain untuk memukul rebana, bernyanyi, dan menari dengan
sukacita. Mahmūd dan Ḥasan menata kursi
dan menyiram air ke halaman depan rumah Paman agar debu tak berterbangan.
Ibu bersama istri Paman Ṣāliḥ dan perempuan-perempuan lain sibuk
mempersiapkan pengantin wanita dan menata koper pakaiannya. Sementara itu,
Paman berlari dari satu tempat ke tempat lain, sibuk dengan seribu hal
sekaligus.
Pada hari itu, orang-orang terus berdatangan, suara anak-anak
semakin terdengar jelas, sementara tugas penting diambil alih oleh seorang
gadis tua, salah satu tetangga Paman dan para sahabatnya, yang mengendalikan
keramaian dengan cekatan.
Tak lama setelah itu, beberapa mobil dan sebuah bus tiba, membawa
beberapa anggota keluarga pengantin pria. Mobil-mobil itu berhenti, dan
orang-orang pun turun, di antaranya yaitu seorang pengantin pria, ʿAbdul-Fattāḥ.
Tabuhan rebana dan lagu-lagu tradisional mulai terdengar, meskipun dengan
dialek khas daerah Dufah . Mereka berjalan menuju ke rumah paman, di mana Paman
dan beberapa pria lainnya keluar untuk menyambut mereka.
Pria-pria itu saling berjabat tangan dan berpelukan, sementara para
wanita saling mencium pipi satu sama lain dalam suasana penuh kehangatan.
Wanita-wanita itu kemudian masuk ke dalam ruang tamu, sementara para pria duduk
di halaman rumah.
Baklavā (kue manis) dibagikan di piring-piring, dan saudaraku
Mahmūd adalah yang paling aktif di antara para petugas yang membagikannya. Ia
juga membagikan minuman merah kepada para tamu, sementara suara rebana dan
nyanyian wanita terus menggema.
Keadaan ini berlangsung selama sekitar satu jam, dan sepanjang
waktu itu Paman terus berbicara dengan pengantin pria dan ayahnya, bersama
beberapa pria lainnya yang tak kukenal. Kemudian, Paman masuk ke rumah dan
acara dimulai.
Pengantin pria dan ayahnya berdiri di pintu dengan iringan rebana
serta nyanyian wanita. Paman keluar sambil memegang lengan saudarinya, Bibi
Fatiḥiyyah, yang mengenakan gaun putih dan kerudung putih yang menambah
kecantikannya. Ia tampak seperti bulan purnama, melangkah perlahan menuju
pintu, hingga pengantin pria menerima tangannya dari lengan Paman. Suara
zaghārīd (nyanyian gembira) pun mengiringi momen itu.
Pengantin berjalan menuju salah satu mobil, dan semua orang
bergerak mengikutinya. Ibu sepanjang waktu berada di dekat Paman dan Bibi Fatiḥiyyah,
yang duduk di sampingnya. Pengantin pria dan wanita naik ke dalam mobil yang
dihias, sementara pria dan wanita lain mulai memasuki mobil-mobil dan bus yang
sudah disediakan.
Ibu menoleh, mencari-cari Mahmūd dan berteriak kepadanya,“Bawa adik-adikmu pulang ke rumah! Aku akan membawa mereka lagi besok. InsyaaAllah aku akan kembali ke sana. Semua hal sudah siap di rumah, sayang. Tidak akan ada yang kamu butuhkan sampai aku kembali. Perhatikan kakek dan sepupu-sepupumu. Tutup pintu sebelum jam malam, dan apapun yang terjadi jangan buka pintu sampai matahari terbit".
Mahmūd mengangguk, memastikan ia paham dengan peranannya, seperti
biasa. Ia selalu memahami petunjuk yang diberikan Ibu dengan cepat dan melaksanakannya
tanpa ragu. Fāṭimah mendekap Maryam di pelukannya, lalu Ibu, istri Paman,
saudara-saudariku naik ke dalam salah satu mobil. Mahmūd pun menjalankan
tugasnya, mengumpulkan kami semua di dekat Kakek, yang berdiri dengan bertopang
pada tongkatnya.
Setelah semua orang naik ke mobil dan ayah pengantin pria serta
Paman selesai mengatur segala hal, Paman meminta izin sebentar untuk menutup
pintu rumah. Ia bergegas kembali ke rumah, mengambil sebuah kantong dari dapur,
lalu menaruhnya di kamar tamu. Setelah itu, ia menutup pintu utama, menjatuhkan
sesuatu dari tangannya dan membungkuk untuk mengambilnya. Dengan hati-hati, ia
menyembunyikan kunci rumah di bawah ambang pintu, lalu meluncur menuju mobil
yang sudah menunggu. Lalu mereka berangkat. Sementara itu, suara rebana dan
nyanyian wanita terus bergema, terdengar jelas hingga mereka menghilang dari
pandangan.
Kami pun kembali bersama Kakek, pulang ke rumah. Kami tiba sebelum matahari terbenam. Tubuh kami terasa lelah setelah menikmati hari yang penuh dengan permainan, makanan, dan kegembiraan itu. Mahmūd menutup pintu dengan rapat, dan kami semua terlelap dalam tidur yang nyenyak.
Malam mulai menyelimuti kota Gaza, gelap, hingga sulit bagi
seseorang untuk melihat jari mereka sendiri. Patroli tentara penjajah
berkeliling di jalan-jalan utama kota, sementara pengeras suara mengumumkan
dimulainya jam larangan keluar rumah. Kemudian keheningan menguasai kota, hanya
terusik oleh suara mobil patroli yang sesekali lewat, menegaskan kedatangan
mereka dan peran mereka dalam menjaga keamanan.
Dengan penuh ketenangan, tujuh orang pria menyusup masuk ke rumah
Paman setelah mereka mengambil kunci dari bawah ambang pintu. Mereka tidak
menyalakan lampu hingga mereka semua berhasil masuk, menutup tirai, dan
menempatkan selimut di jendela di atas tirai untuk memastikan tidak ada satu
pun sorot cahaya yang dapat keluar. Setelah itu, mereka menyalakan lampu dan
menemukan kantong yang disiapkan Paman. Abu Ḥātim membuka kantong itu dan
menemukan beragam makanan dan kue-kue manis di dalamnya. Ia bergumam, “Aṣīl, ya
Ṣāliḥ, aṣīl", meskipun Paman tidak ada di rumah, ia tetap menunjukkan
kemurahan hati.
Para pria duduk dalam sebuah lingkaran kecil yang rapat, mulai
berbisik selama berjam-jam hingga tengah malam. Kemudian, mereka tertidur,
bergantian menjaga dan berjaga, sampai fajar mulai menghampiri. Saat itu,
mereka mulai menyelinap keluar dari rumah, satu per satu. Yang terakhir keluar
adalah Abu Ḥātim, yang menutup pintu setelah dirinya keluar dan meletakkan
kunci di bawah ambang pintu tempat semula. Mereka pun berangkat dengan penuh
harapan, sambil melantunkan doa, "Dan Kami jadikan di depan mereka tembok
dan di belakang mereka tembok, lalu Kami tutup penglihatan mereka sehingga
mereka tidak dapat melihat."
Aku terbangun mendengar suara Kakek yang sedang melaksanakan salat
Subuh. Mahmūd bangun lebih awal, menggantikan peran Ibu di pagi hari,
membangunkan saudaraku Ḥasan dan Muḥammad, serta sepupuku Ḥasan dan Ibrāhīm. Ia
menyiapkan sarapan untuk mereka, lalu kelimanya berangkat bersama menuju
sekolah. Tinggallah aku dan Kakek di rumah sendirian.
Pada hari itu, Kakek tidak pergi ke pasar. Ketika mentari beranjak
meninggi, ia membawaku untuk duduk di bawah hangatnya sinar matahari. Setelah
beberapa saat, ia mulai bercerita tentang masa mudanya dan tanah air yang telah
hilang. Kemudian, ia mengeluarkan kantong kecilnya, mengambil sebuah koin, dan
berkata padaku, "Pergilah, beli sesuatu untukmu dan cepat kembali."
Aku berlari menuju toko Abu Khalil dan membeli beberapa butir
permen asam manis. Aku kembali kepada Kakek dengan salah satu permen di
mulutku. Kakek yang sedang duduk di sampingku bertanya, "Apa yang kamu
beli?" Aku menunjukkan kepadanya apa yang ada di tanganku, lalu kuserahkan
satu butir ke mulutnya. Ia tertawa panjang dan berkata, "Tidak, yang ini
untukmu, sayang."
Aku duduk di samping Kakek, menikmati sinar matahari dan mengisap
permen manis satu per satu. Waktu tengah hari semakin dekat, dan Kakek bangkit
dengan bersandar pada tongkatnya seraya berkata, "Ayo Ahmad, kita pergi ke
masjid untuk salat Zuhur”.
Ia meraih tanganku, dan kami berjalan bersama. Di sana, Kakek duduk
untuk berwudhu, sementara aku menirunya, dan ia memandangku sambil tersenyum.
Tiba-tiba, datanglah Syeikh Ḥāmid, yang melihat kami sambil tersenyum dan
berkata kepada Kakek, "InsyaaAllah, anak ini akan menjadi seorang yang
saleh." Kakek bergumam, "InsyaaAllah... InsyaaAllah."
Hari-hari berlalu begitu saja, dan aku mulai mampu memahami apa
yang terjadi di sekitarku. Hal baru yang mulai terasa jelas adalah bangkitnya
perlawanan. Setiap hari, ada operasi penembakan terhadap patroli penjajah atau
pelemparan granat tangan, atau ledakan bom, dan setiap kali pasukan penjajah
membalas dengan kekuatan dan kekerasan yang kejam terhadap warga sipil yang
tidak bersenjata. Mereka menembak orang-orang secara acak, membunuh dan melukai
mereka. Kemudian, pasukan tambahan datang dan memberlakukan jam malam di daerah
tersebut, memanggil para pria untuk keluar rumah menuju ke sekolah. Di sana,
para tentara memukuli dan merendahkan mereka, dan beberapa di antaranya
ditangkap. Pemandangan, suara, dan kejadian yang sama terus berulang selama
beberapa hari.
Perlawanan semakin meningkat dan semakin kuat, menjadi lebih berani
dan penuh semangat. Bahkan, kami mulai melihat beberapa pria yang mengenakan
kaffiyah, membawa senjata seperti senapan Inggris atau senapan Carl Gustav,
atau membawa granat tangan, berjalan-jalan di lorong-lorong kamp, terutama
menjelang malam. Hal itu sudah menjadi pemandangan yang biasa bagi kami, hingga
kami mulai menyadari bahwa jam malam yang diberlakukan hanyalah kebohongan
belaka yang tidak bisa menipu kami— anak-anak, ibu-ibu kami, atau sebagian
kecil dari orang-orang miskin. Adapun para pejuang perlawanan, mereka menduduki
kamp pada malam hari, sementara patroli penjajah tidak dapat memasuki
lorong-lorong kamp dan tetap berada di jalan-jalan utama yang terbuka. Saat
fajar menyingsing, para pejuang perlawanan menghilang.
Penerjemah : Nidda, Editor : Shofi
Posting Komentar