Novel الشوك والقرنفل (as-Syauku wal Qoronful) karya Yahya Sinwar _1/1

Yahya Ibrahim as-Sinwar

Seorang Palestina dari keluarga yang bermigrasi dari kota Ashkelon akibat pengusiran Zionis Israel. Ashkelon merupakan kota pesisir yang hanya berjarak sekitar 13 km dari perbatasan jalur Gaza. 

Yahya Sinwar lahir pada tahun 1962 di kamp Khan Younis, memperoleh sarjana bidang Bahasa dan Sastra Arab dari Universitas Islam Gaza. Beliau termasuk orang pertama yang mengibarkan panji perlawanan di Palestina. Pada awal tahun 1988, Yahya Sinwar ditangkap oleh penjajah Israel dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. 

Novel as-Syauku wal Qoronful adalah novel yang beliau tulis di dalam penjara Israel. Novel ini menceritakan pengalaman perjuangan Palestina setelah tahun 1967 hingga intifadhah. 

as-Syauku wal Qoronful berarti tanaman thistle dan cengkih. Dua jenis tanaman ini sangat penting dalam kebudayaan Arab. Thistle melambangkan kekuatan dan daya tahan, sedangkan cengkih merupakan rempah yang kaya manfaat. 

Thistle (tanaman yang memiliki banyak duri) digunakan sebagai objek untuk mengekspresikan keberanian dan ketabahan dalam menghadapi kesulitan, sedangkan cengkih untuk menambahkan rasa pada makanan dan sangat penting digunakan dalam acara-acara sosial keagamaan terutama dalam ritual dan tradisi Arab. 

THISTLE DAN CENGKIH 

BAB 1

Hujan deras mengaburkan pemandangan rumah-rumah di kamp pengungsian al-Shati di Kota Gaza. Arus hujan mengalir melewati gang-gang kamp lalu menyerbu rumah-rumah.

Derasnya hujan di musim dingin teramat sering mengalir dari pekarangan menuju rumah kecil kami,  tempat dimana keluarga kami tinggal sejak situasi mulai stabil setelah pindah dari kota Fallujah pada tahun 1948. Hampir setiap saat kekhawatiran melanda kami; aku, ketiga kakak laki-laki dan adik perempuanku.

Saudara laki-lakiku bersama Ayah dan Ibu bahu membahu mengangkat ranjang yang basah kuyup oleh air yang menggenangi rumah kami. Aku yang masih kecil hanya bisa menggelanyut di bahu Ibu, di samping adik yang biasanya Ibu gendong saat situasi seperti ini.

Seringkali aku terbangun di malam hari karena Ibu menggeserku ke samping untuk meletakan panci alumunium sebagai penadah terocohan air hujan dari atap. Dia meletakkan panci alumunium atau piring tembikar di sebelahku agar tetesan air yang merembes dari celah-celah atap dapat tertampung dalam wadah itu. Ibu meletakkan panci di sini, piring tembikar di sana, dan panci lainnya di tempat lain.

Setiap kali aku mencoba untuk tidur kembali, terkadang berhasil namun kadang gagal karena terbangun oleh suara tetesan air yang secara ritmis mengenai kumpulan air dalam panci. Ketika panci sudah atau hampir penuh, air akan memercik ke segala arah sehingga Ibu segera menggantinya dengan panci yang lain. Usiaku masih lima tahun saat itu.

Pada suatu pagi di musim dingin, matahari memberanikan diri muncul dan menghilangkan suasana malam yang gelap. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh kakakku, Muhammad, yang berusia tujuh tahun, untuk menggandeng dan mengajakku berjalan-jalan melalui jalanan di pinggiran kamp, menuju ke kamp tentara Mesir.

Tentara Mesir sangat menyayangi kami. Salah satu dari mereka mengenal dan mengetahui nama kami. Saat kami sampai, dia memanggil "Muhammad, Ahmad, kemarilah...".

Kami lalu menghampiri mereka dan berdiri di samping tentara yang memanggil kami. Kami menundukkan kepala, menunggu apa yang akan dia berikan. Seperti biasa, dia mengulurkan tangannya ke dalam saku. Dengan mengenakan celana militernya, tentara itu mengeluarkan sebungkus permen pistachio untukku dan sebungkus lagi untuk kakak. Kami mengambil dan mulai mengunyah permen dengan penuh semangat. Tentara itu menepuk bahu dan membelai kepala kami, lantas menyuruh kami pulang. Kami mulai menyeret kaki untuk pulang menyusuri jalanan kamp.

Musim dingin telah berlalu setelah melalui masa yang panjang. Cuaca mulai menghangat dan menjadi sangat indah. Hujan tidak lagi membombardir kami dengan bencana-bencananya. Kupikir waktu sudah lama berlalu sejak kami menunggu datangnya musim dingin dan musim dingin tidak akan segera kembali. Tetapi aku merasakan kegelisahan dan kebingungan disekitarku. Keluargaku berada dalam situasi yang lebih buruk dari kondisi hujan badai yang terjadi malam itu.

Diriku belum mampu menyadari apa yang sedang terjadi, namun ini bukan hal yang biasa, bahkan pada malam musim dingin sekalipun. Ibu mengisi semua wadah dengan air dan meletakkan wadah tersebut di halaman rumah. Ayah meminjam cangkul dan kapak dari tetangga dan mulai menyiapkan lubang besar yang panjang di halaman depan rumah dibantu oleh kakakku, Mahmoud yang masih berusia 12 tahun saat itu.

Setelah mereka menyiapkan lubang, Ayah mulai meletakkan potongan-potongan kayu di atasnya, kemudian menutupnya dengan lembaran seng  yang digunakan untuk menutupi sebagian halaman rumah seperti pergola. Aku menyadari bahwa Ayah sedang dalam masalah. Dan dia mulai berbalik mencari sesuatu. Lalu aku melihatnya membongkar pintu dapur untuk menutup lubang itu.

Aku juga melihat Ibu dan kak Mahmoud turun ke dalam lubang melalui lubang yang belum ditutup. Ketika pekerjaan selesai, diriku mendekati celah itu dan ingin melihat apa yang ada di dalam sana.

Di sana, aku menemukan ruangan gelap yang menakutkan dan tidak tahu apa yang ada di dalamnya. Tapi yang jelas ada sesuatu yang menanti kami. Sesuatu yang sangat mengerikan daripada hujan badai malam itu.

Tidak ada lagi yang menggandeng tanganku untuk pergi ke kamp tentara Mesir terdekat untuk mendapat permen pistachio. Sebaliknya, berulang kali kakak menolak untuk ke sana. Sungguh aneh. Sayangnya aku masih saja tidak dapat memahami apa yang terjadi. Demikian pula Hassan, sepupu kami. Mungkin dia tahu, tetapi dia bukan kawan dalam hal berbagi rahasia. Tetapi sepupuku, Ibrahim, yang seumuran denganku dan tinggal di sebelah rumahku, menyadari masalah ini.

Ketika kak Muhammad menolak ajakanku ke kamp tentara Mesir, aku memutuskan pergi ke rumah Paman untuk menemui Ibrahim. Ya, aku akan mengajaknya ke sana. Aku mendorong pintu dan memasuki ruangan dimana Paman, yang wajahnya tidak dapat kuingat lagi, sedang duduk memperbaiki senapan di tangannya. Terpikirkan olehku, mungkin aku akan melakukan hal yang serupa di masa depan. Senapan itu menarik perhatianku dan pandanganku tertuju padanya dalam waktu yang lama.

Paman memanggil dan menyuruhku untuk duduk di sampingnya. Dia meletakkan senapan di tanganku dan mulai berbicara tentang sesuatu yang tidak dapat kumengerti. Setelah itu, diriku bersama Ibrahim meninggalkan rumah. Kami berdua bergegas menuju kamp tentara Mesir di pinggiran kota.  

Ketika kami sampai, segalanya telah berubah. Tentara itu tidak menunggu dan menyambut kami seperti biasa. Situasinya sungguh tidak wajar. Biasanya tentara Mesir menerima kami dengan hangat dan ramah, tetapi tidak kali ini. Bahkan sebaliknya, mereka meneriaki kami untuk pergi. Kami kecewa karena tidak mendapat bagian dari permen pistachio. Aku tidak bisa memahami situasi apa yang telah terjadi.

Keesokan harinya, Ibu mengambil beberapa kasur dan menggotongnya untuk dibawa ke dalam lubang. Dia juga memindahkan dua atau tiga kendi air dan beberapa makanan, lalu membawa kami semua ke lubang itu dan mendudukkan kami di dalamnya. Kemudian istri paman dan putra-putranya, Hassan dan Ibrahim, ikut bergabung bersama kami. Aku merasa kesal karena tempat dalam lubang itu terlalu kecil sehingga kami berjejalan didalam tanpa alasan yang jelas.

Kami meninggalkan rumah, beserta kamar-kamarnya, halamannya, jalan-jalan atau gang-gang di lingkungan sekitar dan ditempatkan disini jauh dari keinginan kami. Setiap kali aku mencoba untuk pergi atau bergegas menuju tempat keluar lubang, Ibu menarik tanganku dan membuatku tetap duduk di dalam. Sesekali, dia memberiku sepotong roti dan beberapa buah zaitun.

Matahari mulai terbenam, cahaya siang perlahan-lahan memudar sehingga suasana gelap menjadi semakin pekat di dalam lubang tempat kami berlindung. Mendadak rasa takut merasuki hati kami yang masih anak-anak. Kami mulai berteriak dan bergegas keluar. Namun Ibu dan Bibi menghalangi kami. Kami tak menyerah dan mencoba merangsek keluar lagi. Mereka berteriak, “Heh! Di luar sana sedang ada perang. Apa kalian tidak tahu arti perang?”. Perang? di kepalaku kata itu terdengar seperti  sesuatu yang luar biasa menakutkan, gelap dan sesak.

Berulang kali kami berdesak-desakan dan selalu dicegah untuk keluar, hingga suara tangisan kami semakin lama semakin kencang. Mereka mencoba menenangkan kami, tetapi tidak berhasil. Lalu Mahmoud berkata, “Bu, haruskah kita membawa lampu agar dapat menyalakannya?". Ibu menjawab, "Iya Mahmoud". Namun saat Mahmoud bergegas meninggalkan parit, tangan Ibu menariknya, menahan Mahmoud agar tidak keluar dan berkata, “Mahmoud, jangan keluar". Ibu mendudukkan Mahmoud.

Ibu lalu keluar dan kembali dengan lampu minyak tanah di tangannya. Dia menyalakan lampu untuk menerangi tempat kami berada. Kami mulai merasakan damai dan tenang. Aku tertidur. Begitu pula kakak, adik, sepupu, Ibu dan Bibi. Keesokan harinya, tidak ada yang istimewa karena kami tinggal di parit hampir sepanjang hari.

Tetangga kami, Bu guru Aisha, selalu memastikan bahwa kabar dari radio bisa sampai pada kami. Dia memastikan radionya dapat menangkap gelombang siaran sehingga dia dapat mendengarkan berita terkini. Kapan pun kami dapat mendengar suara radio, Ibu dan Bibi akan menceritakan isi berita yang tersiar, sehingga suasana menjadi lebih menegangkan, menyedihkan dan suram. Hal ini tergambar dari kesigapan Ibu dan Bibi dalam menyimak radio daripada memenuhi keinginan kami. Jari telunjuk mereka semakin sering digunakan daripada harus berteriak lantang untuk menyuruh kami diam.

Ahmad Saeed, komentator Voice of the Arabs dari Kairo mengatakan bahwa pembuangan orang-orang Yahudi ke laut, dan ancaman terhadap negara Israel mulai melemah dan memudar. Di sisi lain, impian rakyat kami untuk kembali ke rumah mulai runtuh seperti istana pasir yang kami, sebagai anak-anak, biasa bangun sambil bermain di lingkungan sekitar. Harapan terbesar kami adalah bisa kembali ke daerah asal kami tinggal. Selain itu, Paman yang menjalani wajib militer untuk Tentara Pembebasan Palestina bisa selamat, dan Ayah yang pergi sebagai bagian dari pejuang perlawanan bisa pulang menemui kami.

Setiap buletin berita baru yang diperdengarkan oleh Ibu guru Aisha membuat kami semakin depresi. Ketegangan meningkat. Menekan kami lebih banyak berdoa dan mengangkat telapak tangan tinggi-tinggi ke langit untuk memohon keselamatan dan kembalinya Ayah dan Paman.

Suara ledakan semakin kencang, semakin dekat dan semakin dahsyat. Ibu sesekali keluar dari lubang parit dan menghilang selama beberapa menit kemudian kembali dan membawakan kami sesuatu untuk kami makan atau untuk menghangatkan diri. Atau dia kembali meyakinkan Bibi tentang nasib Kakek yang bersikeras untuk tetap tinggal di rumah dan menolak ikut bersama kami.

Pada awalnya, harapan Kakek adalah bisa segera kembali ke rumah dan menggarap pertaniannya di Fallujah. Dia masih merasa aman karena penyergapan tentara Arab itu hanya untuk orang-orang Yahudi. Tetapi pertempuran menjadi jelas baginya bahwa ternyata perang itu tidak menguntungkan bagi kami sebagai orang Arab. Namun dia menolak untuk bersembunyi dalam parit, karna melihat tak ada rasa dan nilai lagi dalam kehidupan. Seumur-umur dia bertanya berapa lama kita akan terus bersembunyi dan melarikan diri dari takdir. Bukankah jika sudah menjadi takdir, kematian dan kehidupan adalah suatu hal yang sama?

Hari mulai menggelap dan kami tertidur. Beberapa kali kami dikagetkan oleh suara ledakan yang keras. Pagi hari, suara itu semakin menjadi. Hari-hari berikutnya tidak ada yang istimewa kecuali satu kejadian, di mana terdengar ledakan besar dan sejumlah orang berkerumun sambil berteriak, "Mata-mata! Mata-mata!"

Jelas sekali mereka mengejar mata-mata itu. Dia memiliki sesuatu seperti tank atau sejenisnya dan orang-orang sibuk mengejarnya. Aku mengerti dari percakapan Ibu, Bibi dan Bu guru Aisha bahwa mata-mata itu memiliki hubungan dengan orang Yahudi.

Intensitas serta kekuatan ledakan pun meningkat dan suaranya terdengar semakin dekat. Jelas bahwa mereka mulai menggempur rumah-rumah di Tepi Barat. Setiap ledakan baru diiringi dengan kepanikan, jeritan dan ratapan. Meski ada upaya untuk menenangkan diri dengan harapan mereka tidak mendekati tempat persembunyian kami, Ibu dan Bibi sudah tidak dapat menyembunyikan kepanikan mereka lagi setelah mendengar berita dari radio. 

Bu guru Aisha mulai menangis dan meratap ketika tengah mendengarkan radio.  Kakinya tidak dapat lagi berpijak. Bu guru Aisha pingsan sambil bergumam, “Orang-orang Yahudi telah menduduki negara ini…”. Kekalutan ini kemudian disusul oleh suara adik perempuanku, Maryam. Dia menjerit atas apa yang terjadi, kemudian menangis tersedu-sedu seiring dengan tangisan Ibu.

Dari waktu ke waktu, suara tembakan dan ledakan berhenti. Terdengar suara tembakan mulai samar. Menjelang malam, kami sudah tidak lagi mendengarnya. Keheningan menyelimuti. Sore harinya, suara para tetangga terdengar saat mereka mulai keluar dari parit tempat mereka bersembunyi atau dari rumah tempat mereka tinggal. Bu Guru Aisha keluar untuk menyelidiki masalah ini kemudian kembali tak lama setelah mengucapkan kata-kata, “Perang telah usai, keluarlah…” Ibu dan Bibi keluar terlebih dahulu sebelum memanggil kami untuk keluar.

Pertama kalinya dalam beberapa hari ini, kami menghirup udara segar. Namun udara yang kami hirup tercemari oleh bau bubuk mesiu dan debu-debu dari bangunan yang sudah porak-poranda. Aku sempat melihat keadaan sekitar sebelum Ibu menarikku ke dalam rumah untuk memeriksa puing-puing sisa bangunan di sekitar kanan kiri kami.

Pengeboman itu berdampak pada rusaknya rumah-rumah warga. Namun, rumah kami baik-baik saja. Begitu kami masuk ke dalam, kakek langsung memeluk dan mencium kami satu per satu sambil mengucap syukur atas keselamatan kami serta memohon keselamatan untuk Ayah dan Paman agar mereka segera kembali.

Bersambung ...

Penerjemah : Nidda, Editor : Sabilillah

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama