NOVEL PSIKOLOGIS ARAB : RU'USU AS-SYAYATIN (Kepala-Kepala Syetan)_Ayman Otoom

Ulasan Novel Ru'usu as-Syayatin :

Novel yang terbit tahun 2019 ini mengisahkan Nadim, seorang dokter jenius menderita penyakit mental serius setelah kematian ayahnya. Novel ini menghadirkan alur yang padat dan menegangkan. Percobaan bunuh diri dilakukan oleh Nadim, namun selalu gagal. Perjalanan kisah Nadim menginspirasi kehidupan di tengah-tengah maraknya kasus tertinggi tentang kesehatan mental. 

(1) ARAK TAK MENYUKAI SIAPA YANG MEMBENCINYA

Ibunya telah meninggal tahun lalu dan telah dikuburkan di pekuburan Fawqa bersama dengan ke-enam saudarinya. Dia adalah anak bungsu dari ke-enam saudarinya yang telah meninggal. Setiap saudari dikuburkan di sebelah saudari yang lain dalam barisan yang teratur, seolah-olah mereka menyatakan bahwa mereka dipersatukan dalam suatu peristiwa tragis baik sebelum dan sesudah mereka tiada, atau mungkin hendak mengatakan bahwa “Sejauh apapun takdir memisahkan, akan tetap bertemu di liang kubur jua”.  

“Tidur” menjadi sebuah kenikmatan dan juga kutukan. Tidur menjadi sosok pembunuh baginya, baik saat dirinya mencoba memejamkan mata maupun menghindarinya. Tidur seakan membunuhnya saat dia berada dalam kondisi tenang atau diliputi kemarahan. Kekasih yang durhaka, kekasih yang tidak setia, keinginan yang tertunda dan jauh dari sanak saudara!! Bagaimana dirinya akan tidur apabila pikiran diliputi oleh kegelisahan. Namun, kegelisahan-kegelisahan semacam itu layaknya makhluk ciptaan Tuhan yang lain, akan berakhir. Maka mengapa tidur tidak segera berpihak kepadanya?! Apakah mungkin kegelisahan itu tiada akan pernah berakhir?  

Dia tidak tidur selama 10 tahun. Ini bukanlah kiasan, namun sebuah kebenaran apa adanya. Setiap dia melemparkan tubuhnya yang kelelahan itu di ranjang, insomnia membuka matanya, seolah-olah ada perang antara dia dengan mata yang terpejam. Malam musim panas yang terasa pengap dan disini, di ruangan yang dia sewa di sebuah hotel murah yang terletak di pusat kota, tercium bau busuk. Terkutuklah kemiskinan, kebutuhan, keuntungan, hotel, pemilik hotel, tidur dan kegelisahan karena dia mengutuk dirinya sendiri sebelum berbalik mundur ke sisi lain. Dia mencoba menutup matanya, berusaha tertidur. Namun ditengah-tengah usahanya, terlintas dalam benaknya tas kulit susu yang disimpan di lemari kamar. Dia membayangkan seseorang akan mencurinya. Dia melompat, berdiri dengan panik, berlari ke arah lemari, membukanya, menarik tutup tas antik itu, melepas ujung penutupnya dengan hati-hati dan perlahan memeriksa isinya. Setelah beberapa menit kemudian dia menghela nafas, “ Tidak ada tangan yang menjamah dan semua yang ada di dalam terbungkus rapi apa adanya”. Dia beristirahat dan kembali ke ranjang. Dia mencoba memejamkan mata, namun terdengar suara berisik dari beberapa pemabuk. Bau arak yang tercium dari mulut-mulut mereka mendadak menguar bagai kabut tipis, bergentayangan dari ujung jalan hingga jalan menuju pintu masuk hotel lalu menaiki tangga bagai jiwa orang mati. Dia melihat bau arak itu dengan hidung lalu menggosoknya. Bau itu membawanya kembali ke masa lalu. Terdengar suara ceracauan mereka, saling mengutuk diri hingga suara itu lambat laun semakin menjauh namun tidak membuat dirinya tertidur barang sedetik pun. Dia berbalik, menyeka keringat di dahinya dengan ujung sprei kotor, mencium bau urin lagi. Bagaimana dia bisa tidur?

Pukul enam pagi dia beranjak dari ranjang. Matanya belum merasakan tidur walau sebentar. Dia menuruni tangga dan pergi menuju Abu Yassin al Fawwal, si penjual kacang rebus dengan gerobak hijaunya. Dia muncul bersama gerobaknya dengan tubuhnya yang besar dan kepalanya yang besar. Hanya setengah dari dadanya terlihat dari balik gerobak karena tubuhnya pendek. Panci kacang mendidih di pagi hari. Kepulan asapnya mengeluarkan aroma kacang matang yang menguar hingga jalan yang tak berujung. Fawwal berujar kepadanya sambil mendorong semangkuk kacang seperti biasanya, dan dengan ibu jarinya dia menepis (dengan agak jengkel) para penguntit kecil yang memegang celana lebarnya, “Hari ini panas dan akan bertambah panas lagi. Kau tidak banyak bepergian hari ini?”. Dia menatap Fawwal dengan mata layu dan segera mengambil mangkuk kacangnya. “Harga?”. Hanya itu yang terucap di bibirnya seraya meletakkan uang dan membalikkan badan untuk pergi.

Dia memperhatikan sisa uang dinarnya di sisi kanan meja. Gerobak-gerobak yang berdiri dengan tenda payung berwarna merah terlihat menarik untuknya. Lantas dia berjalan tiga langkah ke arah kedai roti, merasakan hawa panas nyala api pembakaran yang keluar dari oven. Baik bau roti yang telah matang ataupun bau adonan roti yang belum tercampur sempurna, dia dapat membedakannya tanpa merasakan sepenuhnya, tanpa kebingungan atau ikut campur tangan. Di lubang hidungnya ada seribu sensor dimana masing-masing aroma memiliki saluran keluar yang berbeda-beda dan tidak saling bercampur satu sama lain. Dia membeli sepotong roti panas dari kedai roti dengan 10 uang logam, lalu duduk di bangku batu reyot yang mana rangka besinya menyembul di balik semen. Dia makan dengan lahap, kemudian beranjak pergi sambil menjilati sisa roti hingga bersih tak tersisa lagi. Gelombang kebahagiaan aneh menyelimutinya; dan untuk pertama kali mungkin dalam setahun, dia makan dengan penuh nafsu. Dia menyulut rokok lalu berjalan menuju kafe. Sesampainya di sana, sang barista mempersilahkannya untuk menunggu.  Barista itu mulai memasukkan kopi ke dalam teko dan menyalakan api pembakaran. Api mulai menjalar, panasnya perlahan-lahan naik sehingga kopi mulai mendidih. Tidak memerlukan waktu lama untuk kopi itu mendidih karena tidak tahan terhadap panasnya api. Segera ia pun mendesis dan sebagian meluber sehingga tidak cukup tempat untuk menampungnya. Bunyi kopi yang dituangkan ke dalam cangkir menimbulkan suara bagai alunan musik dan airnya yang luber itu menyebabkan nyala api semakin besar dan menjilat-jilat.

Seketika aroma kopi yang khas itu tercium olehnya. Beberapa detik kemudian jiwanya terbawa ke dalam sebuah ingatan di masa lalu. Dia teringat pada apa yang pak tua itu katakan kepadanya mengenai kopi, "Inilah arak orang-orang saleh". Lantas dia tersenyum. Sang barista mengangkat teko kuningan yang bergagang kayu itu dengan tinggi dan dengan gayanya yang profesional menuangkannya ke dalam cangkir lalu menyerahkan kepada pemiliknya. Dia menghitung uang yang tersisa. Cukup sedikit, namun setidaknya cukup hingga dua sampai tiga hari ke depan. Memang apa yang dia inginkan selain itu? Segera dia menyeruput kopi dengan nikmat bersama rokok sigaret dan melanjutkan perjalanan.

Dia berjalan menyusuri jalan depan hotel. Terlihat orang-orang berlalu-lalang dan jalanan mulai dipenuhi taksi sehingga para karyawan mulai berdesakan untuk pergi bekerja. Suara beberapa pedagang memenuhi tempat itu. Sementara dirinya? Dia tidak mempunyai pekerjaan atau lebih tepatnya mempunyai pekerjaan. Sebenarnya dia memiliki banyak pekerjaan. Tetapi hari ini dirinya benar-benar mengarak. Lantas apa gunanya mengingat masa lalu jika ingatan ini menusuk hati. Bagaimana bila hati telah tercabik-cabik, bahkan banyak lubang di dalamnya sehingga darah merembes dari setiap tusukan. Darah yang terus mengalir itu seolah tiada peduli pada hati yang sudah tak utuh lagi untuk terus-menerus mengalir dalam luka yang mendalam.

Dia menghela nafas saat mengingat hari-hari itu dan menggelengkan kepalanya untuk menyingkirkan pita kenangan. Dia tidak menginginkan kesedihan baru. Apa gunanya merenungkan kesengsaraan, bila kesengsaraan ini adalah teman abadi dan setia?!. Dia berjalan tanpa arah, tanpa tujuan. Jalanan teramat panjang dan dia bisa terus berjalan sampai kakinya lelah atau panas matahari membakarnya, atau terbunuh oleh kehausan dan waktu. Dia tidak mempedulikan itu. Tiada yang menantikannya. Tiada ada istri, tiada ada anak, tiada ada pekerjaan, tiada ada teman, tiada ada orang tua, bahkan ibu yang merupakan satu-satunya cahaya dalam hidupnya telah tiada. Ya, telah tiada. Kini dia berada dalam kesengsaraan yang paling dalam, seolah-olah takdir sengaja menyengat dengan cambuknya disaat-saat dia amat membutuhkannya. Jadi, dia terus berjalan hingga menemukan ujung jalan. Tetapi mengapa ujung jalan begitu panjang hingga seolah tiada akhir?!.

Sepuluh tahun telah berlalu semenjak hari itu, hari dimana dirinya kehilangan istri satu-satunya hingga hari, dia masih menganggapnya sebagai kehilangan terbesar dan kekecewaan terdalam yang dia rasakan. Banyaknya air di lautan seolah tak mampu menandingi rasa kecewanya yang teramat besar. Tiada sesuatu pun yang mampu menandingi banyaknya musibah yang menimpa hidupnya.

Ketika dia lahir, ayahnya menamainya Marx. Ayahnya adalah seorang pemabuk dan hampir tidak bisa hidup tanpa minum. Dia pernah sekolah jauh di Rusia ketika negara ini mengirim orang-orang miskin ke sana untuk belajar secara gratis. Dia mengagumi pemikiran komunis dan kepribadian Marx sehingga dia ingin putranya menjadi sehebat inspirator itu. Tetapi sang ibu, orang yang banyak menangis untuknya, yang senantiasa menunggu kehadirannya, bersikeras untuk memberinya nama Saleh seperti nama saudara laki-lakinya. Saudara laki-laki ibunya adalah sosok yang relijius, selalu mendekatkan diri kepada Tuhan melebihi kedekatannya kepada manusia. Namun ayahnya mengancam dengan perceraian jika dia bersikeras memberinya nama Saleh. Ibunya tidak surut dengan ancaman itu. Keduanya mencari keputusan hukum dari orang-orang desa, namun tiada kata sepakat diantara keduanya hingga akhirnya seseorang berkata, “Sebaiknya kalian membatalkan kedua nama itu untuk menyelesaikan perselisihan. Kalian dapat menamainya Nadim. Nama Nadim dapat berarti si alkoholik yang menyenangkan hati ayahnya, namun dia juga bisa seperti Yang Mulia Syeikh Nadim al-Mallah sehingga ibu dapat menerima dengan hati yang lapang”. Akhirnya, kedua belah pihak itu setuju walau dengan berat hati, lalu mencatatnya di akta kelahiran dengan nama Nadim, meskipun sang ayah terus memanggilnya Marx, memuliakan dan memuji namanya untuk membuat jengkel sang ibu, sedangkan ibunya diam-diam memanggil Saleh ketika ayahnya sedang tidak ada di rumah.

Ketika dua tahun, ayah membacakan untuk pertama kalinya Manifesto Komunis  dan dia berkata kepadanya, “Ini adalah prinsip hidupmu, jadi berhati-hatilah untuk tidak menyimpang darinya”. Ibunya segera mendekap dan menggendongnya di sore harinya sembari membacakan Surat Yasin sebanyak yang dia bisa untuk mensucikan segala kekejian yang telah ayahnya ludahi di wajahnya.

Ketika enam tahun, ayahnya sudah mulai jatuh ke dalam lembah penyakit karena kecanduan alkohol. Dia juga kecanduan film koboi dan film barat Amerika. Anda bisa mendengar teriakan mereka berdua saat menonton adegan duel menggunakan pistol, atau adegan kematian dimana seorang koboi membawa senapan panjang, lalu mengisinya dengan satu peluru dan tiada yang tahu kemana peluru itu akan ditembakkan. Kemudian dia mengarahkan moncong senapan itu di kepalanya, menekan pelatuk seolah memainkannya tanpa beban. Nafas keduanya dan nafas para pemain di layar terhenti. Mereka sama-sama menunggu apa yang akan terjadi setelah koboi itu menekan pelatuk. Apakah peluru tetap bersarang pada tempatnya, atau memuntahkan diri dari moncong senapan, atau menembus kepalanya hingga mengalir darah segar dari balik topinya ataukah berhasil lolos dari kematian?

Keduanya akan kecewa bila tidak terdengar suara tembakan yang mengirim pemain untuk segera mengakhiri perannya ke neraka. Lalu apa menariknya adegan ini bila pelurunya tidak meledak? Apa gunanya menang bila sama-sama bertahan dan tidak ada yang mati diantara mereka? Adapula adegan dimana kuda-kuda berhamburan menuju ke ladang. Hati keduanya merasakan hal yang sama saat para kuda berlari dengan nafas terengah-engah, saat merasakan situasi dimana kuda-kuda itu berada dalam penjagaan, saat ranjau meledak bersama mereka, saat kawat berduri memotong leher mereka, atau saat kuda-kuda itu tersandung dan menabrak penunggangnya dari atas hingga menebas lehernya. Keduanya menunggu lama adegan-adegan di film itu untuk mendapatkan sensasi perasaan yang hebat!

Saat tiba musim panas, ibunya, yang harapannya terus mengalir di dalam dirinya seperti halnya sang ayah, akan membawanya ke Syekh untuk belajar Al-Qur'an. Jika dia duduk bersila di depan Syekh, maka lututnya bergetar seperti sayap lalat. Jika dia lelah maka tubuhnya akan bergoyang ke kiri dan ke kanan dan dadanya akan naik-turun saat dia menghafalkan ayat al-Qur'an, seakan itu adalah musik yang berhasil menggoyangkan anggota tubuhnya. Dia menghafal al-Baqorah dalam seminggu. Pada hari dia menyetorkan hafalannya, Syekh berpikir bahwa dia adalah anak jenius, jadi dia bangkit, mencium keningnya dan berkata kepadanya, "Kamu pintar Nak, kamu menghafal seolah-olah kamu sedang membacanya." Dia tersenyum simpul sehingga tidak nampak gigi-gigi belakangnya. Ketika dirinya berhasil menghafal setengah dari al-Qur’an dalam kurun waktu tiga bulan, Syekh berkata kepadanya, "Nak, kamu adalah tinta emas bagi bangsa ini dan aku akan menamaimu Ibnu Abbas." Lalu Syekh itu meminta agar sang ibu membawa kepadanya setiap hari sepulang dia sekolah. Murid yang luar biasa ini tekun datang ke Masjid tepat pada waktu yang telah ditentukan. Gurunya menjadi tergila-gila kepadanya sehingga dia mulai menngajarinya tafsir. Dia membacakan untuknya Tafsir al-Qurthubi. Jadi, bocah itu menghafal apa yang dibacakan untuknya dan apa yang dia dengar dari gurunya.

Syekhnya hampir tidak percaya bahwa yang dihadapinya adalah seorang bocah. Pernah pada suatu hari Syekh membiarkan bocah itu sendirian di Masjid, sedangkan dirinya menikmati hari dengan berlari-lari kecil di jalan sembari mengangkat tangan di atas sorban sambil tertegun tidak tahu apa tujuannya melakukan itu. Rupanya, sang Syekh masih menyisakan ketidaktahuannya mengapa Tuhan menurunkan kecerdasan luar biasa kepada anak tersebut. Ketika Syekh itu lelah, dia kembali kepadanya, dan mendapati bocah itu sedang menghafal sisa dari Juz Pertama Tafsir al-Qurthubi. Syekh itu pun membeli sepiring penuh gula-gula dan membagikannya kepada orang-orang. Setiap kali bocah itu berhasil menyelesaikan satu juz dari al-Qur’an, dia pergi ke toko untuk membeli sekotak gula-gula dan berkata kepadanya, “Nak, kamu adalah orang pertama yang patut diberi ucapan selamat”. Kemudian sisanya dia bagikan kepada pengunjung Masjid atau orang-orang yang sedang lewat.

Setelah satu tahun, dia berhasil menghafal seluruh al-Qur’an. Satu tahun setelahnya, dia berhasil menghafal beberapa kitab Tafsir. Dia seringkali membuat gurunya tidak berkutik pada beberapa bilangan yang bertebaran di al-Qur’an bak mawar musim semi yang tersebar di padang luas, dengan bertanya kepada Syekh : “Mengapa di dalam al-Qur’an Q.S al-Haqqah : 17 dikatakan : {Pada hari itu delapan malaikat menjunjung ‘Arsy (singgasana) Tuhanmu di atas kepala mereka}? Mengapa malaikat itu tidak berjumlah sepuluh, mengapa ada jumlah khusus?”. Kemudian dia kembali bertanya, “Mengapa Tuhan berfirman dalam Q.S al-Maidah : 12 {Kami telah mengangkat dua belas orang pemimpin diantara mereka (Bani Israel)? Mengapa Tuhan tidak mengangkat dua puluh orang diantara mereka saja?”. Dia juga bertanya, “Mengapa dalam Q.S al-A’raf : 155 dikatakan bahwa {Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya}? Mengapa Musa A.S tidak memilih delapan puluh orang yang lebih banyak?. “Mengapa dalam Q.S al-Hajj : 47 dikatakan bahwa {sehari di sisi Tuhanmu seperti 1000 tahun menurut perhitungamu}? Mengapa tidak 10.000 tahun? Dia juga bertanya dalam Q.S al-Mudatsir : 30 {Di atasnya ada sembilan belas Malaikat penjaga}, mengapa tidak lima belas saja? Dan dalam Q.S Maryam : 10 dikatakan {Tandamu ialah engkau tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal engkau sehat} mengapa hanya tiga hari, tidak satu minggu, satu hari atau lebih dari itu?”. Sang guru tidak memberi jawaban penawar untuk mengobati sebagala pertanyaan bocah itu yang hampir setiap nomer tersebar dalam al-Qur’an dia tanyakan. Sang guru terkadang hanya tersenyum, terkadang pula menggelengkan kepalanya atau membenarkan letak jubah luarnya. Syekh mengumpulkan orang-orang desa, para ahli ilmu, laki-laki, perempuan, anak-anak, para tetangga, lantas berkata kepada ibunya, “Ini jenius dan aku takut kepadanya. Kami akan mengadakan pesta untuknya dan  negara harus mengetahui hal ini karena dia adalah anak dengan pikiran yang luas.

Saat pesta berlangsung, bocah itu membaca ayat-ayat yang dihafalnya darial-Qur’an. Syekh menunjuk acak ayat-ayat tersebut untuk dia bacakan dihadapan para hadirin dan membuktikan kepada mereka yang hadir, terutama para ulama bahwa di hadapan mereka telah muncul Si jenius yang mungkin tidak pernah terlahir untuk kedua kalinya. Kemudian ketika dia mulai membaca ayat, dia akan terus melanjutkan hingga Syekh memintanya untuk berhenti. Dia menyebutkan beberapa kata atau kalimat yang mirip dalam al-Qur'an, lalu menyebutkan nomor halaman dan letak surat serta ayat dimana kata yang sama itu disebutkan. Dia menjawab setiap pertanyaan yang diberikan kepadanya. Semua terkagum-kagum. Mata mereka tertuju padanya, hampir tidak berlebihan, dan Syekh berkata kepadanya, "Wahai Ibnu Abbas dalam firman Tuhan begini begini...". Bocah itu balik bertanya kepadanya, "Apakah saya mengatakan diri saya, atau  Al-Qurtubi yang mengatakan, atau At-Thabari, atau Ibnu Katsir ...?". Syekh tersebut tercekat, "Apa yang kamu katakan nak?". Dia menjelaskan bahwa apa yang dia inginkan adalah ilmu. Adapun ibunya yang dari tadi  menyaksikan, memeluk dirinya setelah dia keluar dari majelis. Air matanya mengalir deras di pipinya karena kebahagiaan yang meluap-luap. Sedangkan ayahnya meludah ke tanah sepanjang waktu. Ketika pesta berakhir, ayahnya berkata kepadanya, "Semua yang telah Syekh itu ajarkan padamu adalah omong kosong.. semua yang kamu hafal adalah lelucon. Buktikan kepadaku bahwa kamu mengetahui pengetahuan yang benar dan hari-hari antara aku dan ibumu yang bedebah itu akan membuktikan mana yang benar!”.

Hatinya condong kepada ayahnya. Dia sendiri tidak membenci ibunya, tetapi dia melihat ibunya seperti ibunya melihat ayahnya; naif, nyentrik, percaya takhayul, dan tekun dalam melafalkan sejumlah doa-doa aneh. Dia ikut ayahnya ketika berusia dua belas tahun. Biasanya, Ayahnya memegang Diwan (Buku Kumpulan Qasidah) Abu Nawas dan membacakan untuknya. 

Tinggalkan dia menangis di rumah

Rasakan aroma arak dari orang-orang yang mabuk

Lantas dia menuangkan araknya ke dalam gelas dan berjalan terhuyung-huyung sambil membaca bait kedua : 

Dan meminumnya dari kematian

Biarkan siang malam berlalu

Kemudian dia berkata kepada putranya, “Bawa segelas minuman ini untukmu anakku, karena kamu tidak akan merasakan rasa syair ini kecuali kamu meminumnya”. Bocah itu tertegun, hanya menatap mata merah ayahnya dan pipinya yang bengkak. Lalu ayahnya berteriak padanya, "Apa kamu tidak mendengarku? Bawakan kesini!". Bocah itu terkejut dan melompat dari tempatnya, membawa cawan dan ayahnya menuangkan untuknya. Dia minum lalu muntah. Kemudian ayahnya menuangkan untuknya kembali. Minumlah, karena arak tidak menyukai orang yang tidak menyukainya. Dan ikutlah bersamaku perjalanan dari keabadiannya. Apa kamu hafal qasidah ini, Marx?". Putranya menjawab, "Aku telah menghafal seluruh Diwan Abu Nawas".  Bagaimana caramu melakukan itu?". Aku tidak tahu, tapi aku harus tahu siapa yang memuji arak sebelum atau sesudahnya sehingga diriku bisa menentukan bait setelahnya". Ayahnya menuangkan secangkir arak yang ke-sepuluh untuknya, "Minumlah, karena jika kamu tidak membuang-buang uang untuk kenikmatan ini, apa lagi yang layak untuk mendapatkan kemurahan hati semacam ini?". "Apakah arak kita sama seperti arak yang diminum Abu Nawas, Ayah?". "Ya, sama". "Engkau berbohong wahai Ayah, arak yang ada di dalam gelas tidak sama dengan arak yang ada dalam pikiran". Seketika ayahnya meremukkan gelas arak yang sedang digenggamnya lalu berteriak kepada putranya, "Tahu apa kamu tentang arak?”. Kemudian ayahnya melanjutkan dengan mengutip puisi Hasan Bin Tsabit yang ditulis setelah penaklukan Mekah 630 M:

Bagaikan arak yang berasal dari Beit Ras

Berisi arak berkualitas yang campurannya adalah madu dan air.

Marx menjawab، “Kalau begitu, bawa arak ini ke Beit Ras agar kita dapat mengetahui arak yang kita minum asli atau tidak". Ayahnya berteriak, gemetar seperti batang pohon lunak yang digoyangkan angin:

Ketika dia kembali tersadar dan kelesuan hidup menyelimuti, ku katakan kepadanya

Sesungguhnya kehidupan dan kematian adalah dua permisalan

Maka minumlah arak darimanapun asalnya

Ketahuilah bahwa setiap kehidupan yang penuh kebaikan pun akan berlalu jua

Putranya berujar, "Apa benar begitu?" Sang ayah menjawab, “Tentu. Jika aku mau, aku akan mendendangkan ratusan syair kecintaan Abu Nawas terhadap arak dari sejak terbitnya fajar hingga fajar lagi dan dari mulai datangnya malam hingga malam lagi. Aku akan membacakannya untukmu. Tetapi kamu tidak memiliki rak buku. Jadi, hafalkan syair arak itu karena akan membawamu pada kewibawaan dan kemuliaan.  

Tidak sampai pada usianya yang ke-empat belas tahun, bocah itu berhasil menghafal Diwan Imru' al-Qays, Mu'allaqat, Diwan Al-Mutanabbi, Al-Buhturi, Abu Tammam, Abu Nawas, Abu Al-Atahiya, Manifesto Komunis , Alfiyah Ibn Malik, Al-Qur'an, Tarikh Ibn Al-Atheer, Dialog Plato, Isyarat Ilahiyah li Tauhid, beberapa kitab Tafsir dan buku lainnya yang tidak terhitung jumlahnya.

Dia menjadikan ini semua adalah kerja keras yang berbuah nikmat. Dia melihat dirinya berbeda dari anak lainnya, hingga kelebihannya itu menyebabkan iri anak-anak lain di sekolah. Mereka biasa menggunjingnya, "Nadim Hafez menuju kesini, tidak mengerti, dia aneh." Jika mereka melihatnya datang dari jauh sambil berjalan tersandung dan terhuyung-huyung, maka mereka berbisik diantara mereka, "Hafez datang, Hafez datang” dan mereka berpura-pura serius, sebelum mereka memanggilnya ketika dia melewati mereka dengan beberapa hinaan buruk atau menghinanya dengan beberapa julukan. Anehnya, bocah itu melihat mereka sebagai makhluk paling konyol yang berjalan di muka bumi dan dia tidak sedikitpun bergeming dengan ejekan yang dilontarkan para musuh kepadanya. Dia merasa bahwa dia telah terbang jauh di langit biru tak terbatas dan mereka tidak lebih dari semut-semut yang gemetaran hanya untuk melihatnya. Julukan yang mengkhawatirkan ini: "Hafez datang... Hafez datang" sering diulang dan anak-anak akan memanggilnya ketika mereka melihatnya. Nama Hafez secara bertahap menggantikan Nadim di sekolah. Ini menambah daftar panjang nama yang dia pakai!

Bersambung ... 

Pengarang : Ayman Otoom

Mengutip atas izin penerjemah.

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama