SEBUAH NOVEL PERJUANGAN DARI YAHYA SINWAR - 3/3

  

Episode sebelumnya: Adapun para pejuang perlawanan, mereka menduduki kamp pada malam hari, sementara patroli penjajah tidak dapat memasuki lorong-lorong kamp dan tetap berada di jalan-jalan utama yang terbuka. Saat fajar menyingsing, para pejuang perlawanan menghilang...

Baca Episode Sebelumnya 

Tibalah waktu liburan musim panas, dan Ibu pun mendaftarkanku untuk bersekolah. Hari-hari berikutnya kulalui dengan bersiap menyambut dunia baruku itu, yang konon bernama sekolah. Beberapa hari menjelang masuk, Ibu membelikanku sepasang sepatu baru—baru bagiku, meski sejatinya sepatu itu telah lama digunakan orang lain. Ia membelinya di lapak kaki lima pasar kamp pengungsi—tempat segala yang lama bisa terlihat seperti baru, cukup dengan sedikit cat dan sentuhan tangan yang sabar.

Warnanya merah, dan entah kenapa aku sangat menyukainya. Kakek juga tampak senang ketika melihatnya, matanya berbinar sejenak seolah mengingat sesuatu yang jauh. Ibu juga menjahitkan untukku sebuah tas kecil dari potongan kain baju-baju lama yang sudah tak layak pakai. Dan begitulah, keperluan sekolahku telah lengkap.

Segalanya terasa begitu baru, penuh bayangan yang belum kukenal. Cerita-cerita tentang sekolah yang sering kudengar dari kakak-kakakku—tentang barisan pagi yang khidmat, ruang-ruang kelas yang berderet, tentang guru yang bersuara tegas namun ramah, serta waktu istirahat yang terasa seperti perayaan kecil di tengah pelajaran—semuanya menari-nari dalam kepalaku, menyalakan imajinasi yang belum pernah kurasakan sendiri.

Menjelang akhir liburan musim panas, seorang pejuang perlawanan bersembunyi di salah satu gang sempit yang mengarah ke jalan utama—jalan yang biasa dilalui patroli tentara pendudukan. Ia menunggu dalam diam, di balik bayang-bayang, menahan napas dalam ketegangan yang padat.

Ketika jip patroli mendekat, ia melemparkan granat ke arah mereka. Ledakan keras mengguncang udara, dan serpihannya menghantam sejumlah tentara yang berada di dalam kendaraan militer itu. Jip itu berhenti mendadak, menabrak dinding batu di dekatnya. Teriakan nyaring para tentara memenuhi udara, jeritan antara nyeri dan panik. Mereka yang masih hidup, begitu tersadar, segera melepaskan tembakan membabi buta ke segala arah, menumpahkan peluru ke setiap sudut jalan yang mereka curigai.

Tak butuh waktu lama, bala bantuan berdatangan dalam jumlah besar. Dari pengeras suara mereka mengumumkan larangan keluar rumah—siapa pun yang melanggar akan dihukum tanpa ampun. Orang-orang pun bergegas masuk ke rumah mereka, menutup pintu dan jendela dengan jantung berdebar.

Namun ketakutan tak berhenti di sana. Puluhan tentara menyerbu rumah-rumah di pinggiran kamp, menggedor pintu-pintu, menerobos masuk tanpa permisi. Mereka memukuli siapa saja yang ada di dalam: perempuan, laki-laki, bahkan anak-anak. Pentungan menghantam tubuh-tubuh lemah yang tak bersenjata, dan jerit kesakitan menggema dari satu rumah ke rumah lainnya, seperti simfoni duka yang dipaksa keluar oleh kekerasan yang buta dan tanpa belas kasihan.

Pengeras suara kembali memekakkan telinga, menyeru seluruh pria—usia delapan belas hingga enam puluh tahun keluar menuju sekolah, sebagaimana biasanya dalam razia mereka. Namun, tak lama setelah suara itu mereda, teriakan lain muncul dari sudut-sudut kamp. Suara-suara itu lantang memperingatkan, “Jangan keluar! Jangan percaya!” Mereka mengabarkan bahwa tentara pendudukan tak sanggup lagi masuk ke kamp, sebab para pejuang perlawanan telah memenuhi lorong-lorongnya—bersiaga dan tak gentar.

Ternyata benar, hanya beberapa pria dari rumah-rumah di tepian kamp yang keluar menuju sekolah, wilayah yang masih bisa dijangkau tentara tanpa banyak risiko. Tapi tiap kali pasukan mencoba masuk lebih dalam ke jantung kamp, hujan peluru menyambut mereka dari jendela sempit, dari gang kecil yang meliuk seperti ular di antara dinding-dinding tua. Senapan dan senjata otomatis menggema, membuat para serdadu itu terpaksa mundur—tertatih, berteriak, berlarian seperti dikejar bayangan sendiri.

 

Mereka yang keluar menuju sekolah tak luput dari derita: dipukuli dua kali lipat, dihina, ditelanjangi harga dirinya. Lalu mereka diizinkan pulang, sedangkan larangan keluar rumah tetap diberlakukan selama satu pekan penuh.

Selama tujuh hari itu, kami hidup dari apa yang ada: bubur kacang polong, lentil, kacang fava, dan zaitun. Sederhana, namun tak terlupakan. Makanan itu, walau dibumbui rasa takut, menjadi santapan paling nikmat yang pernah kami santap sejak pendudukan dimulai. Karena untuk pertama kalinya, kami makan dalam lindungan martabat—di bawah naungan senapan para pejuang yang menjaga kami dari balik bayang-bayang.

Dua hari pertama setelah berlakunya larangan keluar rumah, susasana berlalu dalam senyap yang mendebarkan. Namun kemudian, perlahan, keberanian mulai tumbuh di dada orang-orang. Mereka mulai duduk di depan rumah lorong-lorong sempit, di kedalaman kamp yang sulit dijangkau oleh tentara pendudukan—tempat para pejuang perlawanan telah lebih dulu bersiap, menyatu dengan dinding dan bayangan yang melindungi mereka.

Aku melihat banyak dari mereka, para pejuang yang selama ini hanya kudengar dalam bisik malam. Namun aku tak mengenali wajah siapa pun—karena semuanya berbalut kafiyah, menyembunyikan identitas mereka di balik kain yang terikat rapi, hanya menyisakan mata yang menyala. Mereka memanggul senjata dan tetap berjaga, bersembunyi di balik tembok atau membaur di sudut-sudut yang lengang.

Di salah satu tikungan, beberapa tetangga kami berkumpul, duduk melingkar sambil menyeruput teh yang mengepul hangat. Ada yang melinting rokok dengan tangan gemetar, lalu menghisapnya dalam-dalam seakan menghisap kegelisahan. Mereka berbicara—tentang rasa takut yang tak diakui, tentang harga diri yang bangkit meski diinjak oleh sepatu pendudukan. Ada yang bertanya-tanya, “Bagaimana nanti? Apakah situasi ini akan tetap seperti sekarang? Ataukah pendudukan akan datang dengan kekuatan lebih besar untuk menyerbu kamp? Menggempurnya dengan artileri? Membakar rumah-rumah hingga rata bersama penghuninya?"

Pendapat mereka berbeda-beda, namun satu suara terus menguat, menjadi arus utama yang menyapu keraguan, “Kita harus bertahan. Apa yang masih tersisa dari kita? Yang tersisa hanyalah rumah sempit dari badan bantuan. Jadi apa lagi yang perlu kita takutkan?"

Dan begitulah perbincangan mereka selalu berakhir—dengan nada getir yang berubah menjadi bara, “Ya! Demi Tuhan… Lebih baik hidup satu menit dengan martabat dan kebebasan daripada seribu tahun seperti sampah di bawah sepatu tentara penjajah”.

Yang terjadi di kamp kami bukanlah hal yang mengisolasi—ia adalah gema dari sesuatu yang lebih besar. Suara perlawanan yang menggema dari setiap kamp pengungsi di seluruh Jalur Gaza, mengalir deras di jalanan kota dan desa, baik di Gaza maupun di Tepi Barat. Bara perlawanan mulai menyala di setiap jengkal tanah air. Sebagian gerakannya terorganisir, sebagian lagi lahir dari keberanian pribadi—inisiatif lokal dari para lelaki merdeka yang tak sudi tunduk pada zionis.

Dan kami mulai mendengar berita-berita khusus yang membangkitkan semangat: kabar tentang perlawanan di Kamp Jabalia, tak jauh dari tempat kami. Di sanalah Abu Hatim memimpin barisan perlawanan yang anggotanya terus bertambah—para pemuda dan lelaki kamp serta dari wilayah sekitar, yang mengalir seperti sungai menuju kobaran api. Orang-orang mulai mengenalnya dengan nama baru Kamp Jabalia, "Kamp Revolusi".

Kabar-kabar itu menyebar cepat—secepat api yang melahap jerami kering. Setiap kabar baru menambah harapan, membakar semangat, dan menyalakan cahaya kecil di hati kami yang gelap. Bahkan kami, anak-anak kecil, mulai merasakan getaran perubahan. Permainan kami pun berubah. Kami tak lagi hanya bermain untuk bersenang-senang—kami bermain peran "Arab dan Yahudi", dan sejak itu tak ada lagi keraguan: orang Arab akan menang dan musuh pasti tumbang.

Bersambung ke Bab 4

Penerjemah : Nidda, Editor : Shofi 




Post a Comment

Lebih baru Lebih lama