Tibalah waktu liburan musim panas, dan Ibu pun mendaftarkanku untuk
bersekolah. Hari-hari berikutnya kulalui dengan bersiap menyambut dunia baruku
itu, yang konon bernama sekolah. Beberapa hari menjelang masuk, Ibu
membelikanku sepasang sepatu baru—baru bagiku, meski sejatinya sepatu itu telah
lama digunakan orang lain. Ia membelinya di lapak kaki lima pasar kamp
pengungsi—tempat segala yang lama bisa terlihat seperti baru, cukup dengan
sedikit cat dan sentuhan tangan yang sabar.
Warnanya merah, dan entah kenapa aku sangat menyukainya. Kakek juga
tampak senang ketika melihatnya, matanya berbinar sejenak seolah mengingat
sesuatu yang jauh. Ibu juga menjahitkan untukku sebuah tas kecil dari potongan
kain baju-baju lama yang sudah tak layak pakai. Dan begitulah, keperluan
sekolahku telah lengkap.
Segalanya terasa begitu baru, penuh bayangan yang belum kukenal.
Cerita-cerita tentang sekolah yang sering kudengar dari kakak-kakakku—tentang
barisan pagi yang khidmat, ruang-ruang kelas yang berderet, tentang guru yang
bersuara tegas namun ramah, serta waktu istirahat yang terasa seperti perayaan
kecil di tengah pelajaran—semuanya menari-nari dalam kepalaku, menyalakan
imajinasi yang belum pernah kurasakan sendiri.
Menjelang akhir liburan musim panas, seorang pejuang perlawanan
bersembunyi di salah satu gang sempit yang mengarah ke jalan utama—jalan yang
biasa dilalui patroli tentara pendudukan. Ia menunggu dalam diam, di balik
bayang-bayang, menahan napas dalam ketegangan yang padat.
Ketika jip patroli mendekat, ia melemparkan granat ke arah mereka.
Ledakan keras mengguncang udara, dan serpihannya menghantam sejumlah tentara
yang berada di dalam kendaraan militer itu. Jip itu berhenti mendadak, menabrak
dinding batu di dekatnya. Teriakan nyaring para tentara memenuhi udara, jeritan
antara nyeri dan panik. Mereka yang masih hidup, begitu tersadar, segera
melepaskan tembakan membabi buta ke segala arah, menumpahkan peluru ke setiap
sudut jalan yang mereka curigai.
Tak butuh waktu lama, bala bantuan berdatangan dalam jumlah besar.
Dari pengeras suara mereka mengumumkan larangan keluar rumah—siapa pun yang
melanggar akan dihukum tanpa ampun. Orang-orang pun bergegas masuk ke rumah
mereka, menutup pintu dan jendela dengan jantung berdebar.
Namun ketakutan tak berhenti di sana. Puluhan tentara menyerbu
rumah-rumah di pinggiran kamp, menggedor pintu-pintu, menerobos masuk tanpa
permisi. Mereka memukuli siapa saja yang ada di dalam: perempuan, laki-laki,
bahkan anak-anak. Pentungan menghantam tubuh-tubuh lemah yang tak bersenjata,
dan jerit kesakitan menggema dari satu rumah ke rumah lainnya, seperti simfoni
duka yang dipaksa keluar oleh kekerasan yang buta dan tanpa belas kasihan.
Pengeras suara kembali memekakkan telinga, menyeru seluruh
pria—usia delapan belas hingga enam puluh tahun keluar menuju sekolah,
sebagaimana biasanya dalam razia mereka. Namun, tak lama setelah suara itu
mereda, teriakan lain muncul dari sudut-sudut kamp. Suara-suara itu lantang
memperingatkan, “Jangan keluar! Jangan percaya!” Mereka mengabarkan bahwa
tentara pendudukan tak sanggup lagi masuk ke kamp, sebab para pejuang
perlawanan telah memenuhi lorong-lorongnya—bersiaga dan tak gentar.
Ternyata benar, hanya beberapa pria dari rumah-rumah di tepian kamp
yang keluar menuju sekolah, wilayah yang masih bisa dijangkau tentara tanpa
banyak risiko. Tapi tiap kali pasukan mencoba masuk lebih dalam ke jantung
kamp, hujan peluru menyambut mereka dari jendela sempit, dari gang kecil yang
meliuk seperti ular di antara dinding-dinding tua. Senapan dan senjata otomatis
menggema, membuat para serdadu itu terpaksa mundur—tertatih, berteriak,
berlarian seperti dikejar bayangan sendiri.
Mereka yang keluar menuju sekolah tak luput dari derita: dipukuli
dua kali lipat, dihina, ditelanjangi harga dirinya. Lalu mereka diizinkan
pulang, sedangkan larangan keluar rumah tetap diberlakukan selama satu pekan
penuh.
Selama tujuh hari itu, kami hidup dari apa yang ada: bubur kacang
polong, lentil, kacang fava, dan zaitun. Sederhana, namun tak terlupakan.
Makanan itu, walau dibumbui rasa takut, menjadi santapan paling nikmat yang
pernah kami santap sejak pendudukan dimulai. Karena untuk pertama kalinya, kami
makan dalam lindungan martabat—di bawah naungan senapan para pejuang yang
menjaga kami dari balik bayang-bayang.
Dua hari pertama setelah berlakunya larangan keluar rumah, susasana
berlalu dalam senyap yang mendebarkan. Namun kemudian, perlahan, keberanian
mulai tumbuh di dada orang-orang. Mereka mulai duduk di depan rumah
lorong-lorong sempit, di kedalaman kamp yang sulit dijangkau oleh tentara
pendudukan—tempat para pejuang perlawanan telah lebih dulu bersiap, menyatu
dengan dinding dan bayangan yang melindungi mereka.
Aku melihat banyak dari mereka, para pejuang yang selama ini hanya
kudengar dalam bisik malam. Namun aku tak mengenali wajah siapa pun—karena
semuanya berbalut kafiyah, menyembunyikan identitas mereka di balik kain yang
terikat rapi, hanya menyisakan mata yang menyala. Mereka memanggul senjata dan
tetap berjaga, bersembunyi di balik tembok atau membaur di sudut-sudut yang
lengang.
Di salah satu tikungan, beberapa tetangga kami berkumpul, duduk
melingkar sambil menyeruput teh yang mengepul hangat. Ada yang melinting rokok
dengan tangan gemetar, lalu menghisapnya dalam-dalam seakan menghisap
kegelisahan. Mereka berbicara—tentang rasa takut yang tak diakui, tentang harga
diri yang bangkit meski diinjak oleh sepatu pendudukan. Ada yang
bertanya-tanya, “Bagaimana nanti? Apakah situasi ini akan tetap seperti
sekarang? Ataukah pendudukan akan datang dengan kekuatan lebih besar untuk
menyerbu kamp? Menggempurnya dengan artileri? Membakar rumah-rumah hingga rata
bersama penghuninya?"
Pendapat mereka berbeda-beda, namun satu suara terus menguat,
menjadi arus utama yang menyapu keraguan, “Kita harus bertahan. Apa yang masih
tersisa dari kita? Yang tersisa hanyalah rumah sempit dari badan bantuan. Jadi
apa lagi yang perlu kita takutkan?"
Dan begitulah perbincangan mereka selalu berakhir—dengan nada getir
yang berubah menjadi bara, “Ya! Demi Tuhan… Lebih baik hidup satu menit dengan
martabat dan kebebasan daripada seribu tahun seperti sampah di bawah sepatu
tentara penjajah”.
Yang terjadi di kamp kami bukanlah hal yang mengisolasi—ia adalah
gema dari sesuatu yang lebih besar. Suara perlawanan yang menggema dari setiap
kamp pengungsi di seluruh Jalur Gaza, mengalir deras di jalanan kota dan desa,
baik di Gaza maupun di Tepi Barat. Bara perlawanan mulai menyala di setiap
jengkal tanah air. Sebagian gerakannya terorganisir, sebagian lagi lahir dari
keberanian pribadi—inisiatif lokal dari para lelaki merdeka yang tak sudi
tunduk pada zionis.
Dan kami mulai mendengar berita-berita khusus yang membangkitkan
semangat: kabar tentang perlawanan di Kamp Jabalia, tak jauh dari tempat kami.
Di sanalah Abu Hatim memimpin barisan perlawanan yang anggotanya terus
bertambah—para pemuda dan lelaki kamp serta dari wilayah sekitar, yang mengalir
seperti sungai menuju kobaran api. Orang-orang mulai mengenalnya dengan nama
baru Kamp Jabalia, "Kamp Revolusi".
Kabar-kabar itu menyebar cepat—secepat api yang melahap jerami
kering. Setiap kabar baru menambah harapan, membakar semangat, dan menyalakan
cahaya kecil di hati kami yang gelap. Bahkan kami, anak-anak kecil, mulai
merasakan getaran perubahan. Permainan kami pun berubah. Kami tak lagi hanya
bermain untuk bersenang-senang—kami bermain peran "Arab dan Yahudi",
dan sejak itu tak ada lagi keraguan: orang Arab akan menang dan musuh pasti
tumbang.
Penerjemah : Nidda, Editor : Shofi
Posting Komentar