Di Desa Magdala yang telah diduduki Israel.
Kala itu musim paling indah.
Yap, musim gugur. Musim yang kami pikir akan mengilhami sebuah kehidupan baru. Namun itu terjadi sama seperti musim-musim sebelumnya. Daun-daun yang jatuh berguguran ikut menyebarkan udara yang bercampur darah para syuhada, yakni mereka yang berkobar semangat menentang segala penindasan dengan keagungan dan kebanggaan.
Gugurnya dedauanan itu luput dari perhatian orang-orang dewasa. Tidak hanya itu, bunga-bunga cantik dengan aneka ragam dan warna, yang menarik bagi tiap mata memandang, berakhir dengan layu karena tak disiram. Aku berjalan di tengah bangunan yang telah porak-poranda. Penuh dengan puing-puing material walau beberapa diantaranya masih kokoh berdiri. Ketika melangkahkan kaki di jalanan yang hancur itu, kudengar suara ledakan bom. Aku bergegas mencari perlindungan di antara puing-puing reruntuhan.
Aku terlahir saat perang sedang terjadi. Tahukah kamu? Aku hanya ingin memiliki kenangan masa kecil. Ingin menjadi sosok anak yang suka berbuat onar atau sebaliknya, anak penurut yang suka membantu perkerjaan rumah. Aku ingin sekali bermain di seberang jalan hingga pakaianku kotor lalu pulang ke rumah dan mendapat omelan dari ibuku. Nyatanya aku tidak pernah menjadi anak-anak. Aku diciptakan sebagai anak yang kehilangan masa kecil yang indah. Tidak ada rasa aman, selalu dihadapkan pada kematian dan kehilangan orang-orang yang kami cintai.
Hati kami membeku. Tidak dapat hidup. Hati kami hidup dari udara yang bercampur darah tiap rakyat Palestina yang gugur. Liburan kami menjadi liburan dengan nuansa lain, nuansa penuh darah dan kehancuran. Tetapi kami akan tetap mempertahankan hidup sampai Tuhan mengizinkan kami untuk mati dan mengizinkan semua luka itu pergi. Sungguh, aku ingin sekali bertemu ibu ayahku di surga yang kuimpikan itu, yang kalian juga belum pernah melihat sebelumnya. Maka, selamat datang di Palestina tercinta.
Dari setiap langkah hidupku di tanah ini, aku masih ingat semua detail kejadian. Aku ingat malam kematian ibu. Kenangan mengerikan itu jelas di depan mata kepalaku. Malam pemboman menjadi malam terakhir kebersamaan kami yang sedang berkumpul untuk makan malam. Rumah kami dibom dan hanya diriku, si anak malang, yang selamat. Asap dan debu menutupi seluruh desa. Bahkan asapnya menghalangi sinar matahari yang masuk sehingga kami tidak dapat membedakan pagi, siang dan malam hari.
Malam itu kami segera berlari mencari perlindungan. Atap dan langit-langit rumah mulai runtuh dan aku tersungkur, jatuh ke tanah seperti jasad yang telah kaku selama beradab-abad. Aku melihat dunia dipenuhi warna serba putih. Ku pikir aku sudah mati. Jadi aku memaksakan diri untuk bertahan dengan duduk sebentar hingga menyadari bahwa aku masih hidup. Aku mencoba mendapatkan kembali kekuatan untuk berdiri. Dan tetesan darah mulai mengalir. Diriku tersungkur kembali. Aku mengalami pendarahan hebat di kepala. Aku ingin bangkit. Tetapi merasakan ketidakseimbangan terjadi pada tubuhku. Badanku menjadi sangat berat, aku kebingungan. Udara dipenuhi bau mayat-mayat. Semua orang berteriak dan menjerit. Aku tak peduli. Yang kupedulikan hanyalah ibuku. Namun penglihatanku terganggu dan aku tidak bisa berdiri, sampai segala sesuatunya mulai menjadi jelas. Aku melihat sesosok wanita, anggota tubuhnya berserakan di bawah reruntuhan dan terhimpit bangunan.
Orang itu kehabisan nafas. Aku segera pergi dan memeriksanya sampai menemukan ia adalah ibuku. Darah mengalir deras dari kepalanya. Aku memegang kepala ibuku dengan tangan, berharap pendarahannya berhenti. Sungguh aku tidak dapat membayangkan kejadian itu. Aku berteriak, “Ibu, ibu, ibu, bangunlah. Lihatlah ke atas. Wahai Malaikat Maut, tolong jangan ambil dia. Wahai Malaikat Maut, tolong”. Mataku mulai meneteskan air mata, semakin deras dan tidak mau berhenti. Aku berteriak, “Ibu”. Sampai akhirnya dia mulai mengangkat jari telunjuknya sambil berkata, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, agar malaikat maut dapat mencabutku”. Dia memohon kepada penciptanya tanpa menderita pergolakan kematian. Dunia di mataku mulai tampak gelap yang kelam. Aku tidak bisa melihat apa pun kecuali mayat-mayat yang berjejer di mana-mana.
Di dunia ini, aku merasa hidup dalam jasad tanpa ruh yang berdoa memohon keadilan untuk ibuku sesegera mungkin. Sejak saat itu, aku mencari tempat berlindung untuk menampung kesedihan dan kesepian hatiku.
Kemarahan batinku terhadap tentara Israel tidak akan pernah bisa padam. Aku mulai bergabung dalam demonstrasi menentang mereka atas kekejaman yang mereka lakukan. Mereka melempari kami dengan batu dan menggunakan senjata untuk membunuh kami. Aku bahkan merasa bahwa mereka bukanlah manusia, setiap kali mereka menodongkan senjata dan membunuh kami bagaikan hewan. Hewan yang ditempatkan di tempat pengungsian. Sebegitu kejamkah manusia?.
Kemudian aku menjadi orang penting dalam pembuatan bom molotov untuk para pejuang. Tak pelak lagi, pasukan Israel mulai ketakutan. Aku ingin menghukum mereka. Tetapi di sini, di Palestina, permasalahannya lebih buruk dari itu. Ini bersifat politik, yang menjadikan si pembunuh sebagai pahlawan dan si korban bagai orang brengsek. Aku membuat bom molotov dalam jumlah besar dan mendistribusikannya kepada orang-orang yang ada di kota. Lalu mereka mendistribusikannya ke semua kelompok pemuda pejuang di Ramallah, tepi barat kota, dan beberapa daerah lainnya. Jumlah pasukan Israel yang terluka mulai meningkat. Meskipun usiaku masih muda, aku menjadi juara dalam membuat bom molotov.
Saat aku sedang mengisi bahan kimia ke dalam senjata-senjata yang baru datang, aku mendengar langkah kaki tergesa-gesa menuju ke arahku sampai aku melihat dengan jelas sosok itu adalah Asim, distributor yang selalu mengambil pasokan senjata dariku. Aku melihat sekilas ketakutan nampak di wajahnya. Aku bertanya-tanya, mengapa?. Dia mendekatiku. Namun napasnya cepat, tersengal-sengal dan gemetar. Wajahnya berkeringat. Dia menunjuk ke kanan seolah-olah menyuruh padaku untuk melarikan diri, sampai aku mendengar suara itu, suara tembakan yang menembus kepala Asim. Aku belum menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi. Tidak ada yang menjadi jelas bagiku sampai seorang tentara Israel itu muncul, membawa senjata di tangannya. Seorang pria jangkung, berkulit putih dengan cuping telinga yang panjang dan bulu-bulu halus menutupi seluruh wajahnya. Daniel Yonathan, salah satu tentara yang tidak berperasaan dan kejam. Aku mundur sedikit sampai anggota-anggota yang lain datang mengerumuniku. Ya, aku berhasil dikepung.
Daniel mencengkeramku dan mulai memukul wajahku. Lagi dan lagi hingga hidungku mulai berdarah. Temannya datang dan berkata, “Pimpinan ingin dia hidup”.
Daniel tidak menggubrisnya sampai dia mengangkat senjata itu dengan moncongnya tepat ke kepalaku. Tangannya mulai gemetar dan wajah putihnya mulai berkeringat.
“Daniel, pimpinan ingin dia hidup karena media internasional”.
Daniel tidak menanggapi dan mulai memantik senjata itu untuk memastikan aksinya berhasil.
“Daniel, meletakkan senjatamu!”.
Daniel menatapku tajam dan berkata, “Katakan sesuatu sebelum kamu mati!”.
Temannya berteriak:
“Daniel! Kukatakan terakhir kali. Letakkan senjatamu!”.
Aku memandangnya sambil tersenyum. Namun air mataku mulai berjatuhan, dan sesaat aku merasa takut. Ya, itu sifatku seperti anak kecil yang usianya belum lebih dari lima belas tahun. Aku berkata kepadanya, “ Senjatamu tidak lagi membuat kami takut”.
“Daniel, apa yang kamu lakukan? Kamu membunuhnya!”, seru mereka.
Daniel memandangnya dan berkata, “Dia dibunuh karena membawa senjata api dan menembakkannya ke beberapa petugas polisi”.
“Tapi dia tidak dibunuh olehku”, seru salah seorang anggota itu.
“Siapa yang mengatakan itu ?!”, kata Daniel
Lantas dia mengeluarkan senjata lain dan menembak kepalanya sampai semuanya dilakukan dengan benar, sehingga dia bisa mengabarkan lewat radio di tangannya.
“Teman saya diserang dan dibunuh oleh seorang anak yang sedang memegang senjata api. Saya membutuhkan ambulan sekarang”.
Ketika Daniel melihat sekeliling, matanya melihat sekilas secarik kertas di saku anak itu. Dia mengulurkan tangannya untuk mengambil secarik kertas bertuliskan:
Di mata seorang anak Palestina
Aku merasa hari syahidku sudah dekat. Maka aku menulis surat dengan sisa-sisa kekuatanku. Jika surat ini dibuka, aku tahu aku sudah mati sekarang. Karena diriku tidak tahu sampai kapan persoalan kita hanya akan menjadi opini dan bukan sebagai sebuah penyelesaian. Sedangkan bagi Israel, virus perang dan adu domba terkutuk ini digunakan untuk menyebarkan teror dan ketakutan, serta mengancam kematian dan kehancuran. Virus ini akan menyebar ke seluruh dunia Arab, membubarkan persatuan dan membunuh umat Islam. Lantas bagaimana kita bertanggung jawab dihadapan Sang Pencipta? Aku mendengar beberapa orang mengatakan, salah satu rencana Israel di tahun-tahun mendatang adalah mengubah Yerusalem menjadi ibu kota Israel.
Aku tahu, mereka benar-benar akan melakukannya, tetapi aku tidak takut. Hanya yang ku takutkan adalah, perjuangan kami dalam mempertahankan Palestina terhapus dalam ingatan dan sanubari anak muda masa depan seolah-olah kami tidak pernah ada.
Aku tahu bahwa di masa yang akan datang, tanah air ini akan tetap ada. Anak-anak akan hidup sebagaimana mestinya dan generasi mendatang akan hidup dengan aman. Namun kita juga harus tahu bahwa ini hanyalah mimpi seorang anak Palestina”.
“Kedamaian akan terasa bila hidup di tanah yang diciptakan untuk dihormati bersama-sama, namun aku belum pernah merasakan satu hari pun berada dalam kedamaian”. _Mahmoud Darwish
Cerpen karya : Muhammad Riyad, Mahasiswa Fakultas Kedokteran, Misr University for Science & Technology/ Fi Uyuni Thifl al-Filisthini/2021
Penerjemah : Nidda Amirotul Qori’ah.
Posting Komentar