Aku duduk di bangku, sementara Ibrahim sudah menunggu di dekat pintu keluar. Dengan gerakan ringan dan sangat hati-hati, aku menyelipkan potongan-potongan roti dan beberapa bola-bola daging—lalu kumasukkan ke dalam kantong plastik kecil. Setelah itu, diam-diam kusimpan di balik celanaku. Aku menghabiskan sisa makanan yang ada, lalu berdiri sambil memperhatikan bentuk celana ini—khawatir kalau-kalau menyimpan sesuatu di dalamnya justru membuatku mudah dicurigai saat pemeriksaan nanti.
Kulempar piring itu lewat jendela dapur, lalu melangkah maju seperti anak baik-baik ke hadapan Bu 'Aisyah yang berdiri di pintu, siap memeriksa siapa pun yang lewat. Kuangkat kedua kedua tanganku di atas kepala, patuh seperti biasa. Ia memeriksaku cepat, lalu kulewati tanpa kata. Begitu sampai di luar, mataku langsung menyapu ke kiri dan ke kanan, mencari-cari Ibrahim. Sementara itu, tanganku mulai menyusup ke dalam celana, meraih setengah roti yang kusembunyikan tadi.
Baru saja roti itu berpindah ke tanganku, mataku menangkap gerombolan anak-anak—sekitar tiga puluh orang, dari keluarga yang tinggal tak jauh dari Klinik Kesehatan. Kami menyebut mereka Kaum Hyksos—sebutan setengah main-main—karena tabiat mereka yang selalu haus keributan. Dan seperti pasukan kecil yang lapar, mereka menyerbu ke arahku, matanya tertuju pada roti yang kupegang erat-erat. Aku tak sempat berpikir. Kakiku lebih dulu bicara—menyambar tanah, menembus jalanan, melarikan tubuhku dari kawanan yang melolong di belakangku.
Tapi aku terus berlari, sekuat tenaga, menyusuri jalan panjang yang terasa tak berujung. Kuduga mereka telah menyerah—aku merasa langkahku telah jauh meninggalkan mereka. Maka kutolehkan kepala, ingin memastikan bahwa kejaran itu benar-benar telah usai. Namun seketika, sebuah batu besar melayang dari belakang, dilempar oleh salah satu dari mereka, dan menghantam tepat ke mataku. Dunia tiba-tiba gelap—cahaya runtuh seketika.
Setengah roti jatuh dari tanganku, terhempas ke tanah dan tertutup debu. Aku tak mampu—atau mungkin tak ingin—membungkuk untuk mengambilnya. Kugenggam erat-erat setengah roti yang lain dan aku terus berlari, melesat seperti burung yang terluka, sambil berteriak, “Ibu!". Sepanjang jalan, tanganku menempel di mata, menahan nyeri dan ketakutan yang menyesak. Saat akhirnya sampai di rumah, ibuku melompat dari tempatnya, panik bukan main. Begitu kuangkat tangan dari mataku, ia menatap dengan ngeri, dan jeritannya mengguncang udara: “Ya Allah… mata anakku…!”.
Ia meraih kerudungnya dan langsung melesat, berlari sambil menarikku—kadang menggendongku, kadang menyeretku dengan tangan gemetar—menuju klinik milik UNRWA. Nafasnya berat, langkahnya terpatah-patah oleh panik dan kelelahan. Setelah perjuangan panjang, kami sampai di klinik, langsung menuju ruang khusus untuk pengobatan mata, tempat seorang perawat berjaga.
Tapi begitu kami masuk, pertanyaan pertama menghantam seperti tembok, "Mana kartu klinik?"—kartu identitas khusus yang harus ditunjukkan sebelum siapa pun bisa diperiksa, sebagai bagian dari prosedur rutin.
Ibuku terpaku. Dalam kecemasannya menyelamatkan mataku, ia lupa membawa kartu itu. Wajahnya pucat, suaranya mulai bergetar saat ia memohon, merayu, memelas—namun sia-sia. Mereka menggeleng, "Tanpa kartu, anak ini tak bisa kami tangani".
Ia mendudukanku di bangku kayu di depan ruang periksa, lalu berlari keluar secepat mungkin, mengejar waktu, mengejar harapan, mencoba kembali dengan kartu itu sebelum klinik menutup pintunya.
Setelah perawat yakin bahwa ibuku benar-benar pergi untuk mengambil kartu, ia memanggilku dengan suara pelan dan mendudukkanku di kursi pemeriksaan. Ia mulai memeriksa mataku dengan teliti, lalu menempelkan selembar kain kasa tebal di atasnya dan merekatkannya rapat. Aku duduk diam, menanti ibu pulang.
Tak lama, ia kembali—terengah, tubuhnya dibasahi keringat dan lelah yang dibawa oleh napas panjang perjalanan. Mereka pun menyelesaikan proses pendaftaran. Ia mendengarkan penjelasan dari perawat, dan baru merasa tenang saat diberi tahu bahwa mataku tidak apa-apa.
Ia menggenggam tanganku dengan kelembutan seorang ibu yang baru saja menyelamatkan dunia kecil anaknya, dan kami pun melangkah pulang perlahan, selangkah demi selangkah.
Tapi masalahku—dan sumber segala masalah hari itu—bukan semata-mata luka di mata. Masalah sebenarnya adalah: kakakku, Fatimah, memanfaatkan kekacauan ini untuk merobek kartu logistik makanan kami. Dan dengan itu, seolah-olah ia telah mencungkil mataku yang satunya lagi—sebab mulai hari itu, aku kehilangan hakku untuk makan di dapur umum.
Kondisi ekonomi keluarga kami saat itu bisa dibilang sedang—tidak kekurangan, tapi juga jauh dari berkecukupan. Ada yang hidup lebih baik dari kami, seperti keluarga-keluarga yang ayahnya bekerja di wilayah pendudukan. Tapi tak sedikit pula yang keadaannya jauh lebih sulit, seperti keluarga tetangga kami, Umu al-Abid. Ia seorang ibu dari empat anak laki-laki dan tiga perempuan, tanpa siapa pun yang menanggung hidup mereka.
Suaminya gugur pada tahun 1967, meninggalkan istri dan anak-anaknya dalam bayang-bayang kehilangan yang tak pernah selesai. Ibu sering berkata, dengan suara lirih yang tak mampu menyembunyikan iba, “Ia meninggalkan mereka begitu saja… anak-anak hebat yang belum sempat dilihatnya tumbuh”.
UNRWA memang membantu banyak kebutuhan hidup, tapi masih ada bagian-bagian yang perlu biaya tambahan yang tidak bisa mereka tanggung. Umu al-Abid sangat berusaha untuk meringankan beban keluarganya dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya.
Setiap hari Jumat, anak-anaknya membawa karung goni dan berjalan jauh ke sebuah tempat dekat batas wilayah tahun 1948. Di sana ada tempat sampah dari permukiman Yahudi yang berisi sepatu tua, kaleng-kaleng bekas, dan botol bir kosong. Mereka mengumpulkan barang-barang yang masih bisa dijual atau dipakai, lalu membawanya pulang dalam karung mereka.
Ibu mereka rajin mencuci botol-botol itu sampai bersih, lalu menjualnya kepada seorang wanita yang duduk di depan klinik. Wanita itu menjual botol-botol tersebut kepada orang-orang yang membelinya untuk menyimpan obat dari klinik. Ibu mereka juga membersihkan sepatu-sepatu tua, mengumpulkan setiap pasang, dan menjualnya kepada seorang pedagang di pasar yang kemudian menjualnya kembali ke warga kamp pengungsi.
Setiap pagi, ia pergi ke dapur umum untuk membeli susu yang tidak dipakai oleh para wanita yang mendapat jatah susu. Dari susu itu, ia membuat jameed — sejenis dadih yang hampir keras — dan duduk di depan sekolah untuk menjualnya kepada anak-anak. Jika anak-anak tidak membawa uang, ia menjualnya dengan menukar potongan roti.
Dengan potongan roti itu, ia memenuhi kebutuhan keluarganya. Ia menjual sedikit demi sedikit, mengumpulkan uang receh dari sini dan sana untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Ia menjalani semua itu dengan hati yang penuh rasa syukur dan ikhlas menerima takdirnya. Semua ini dilakukannya sambil membesarkan anak-anak sang syahid dengan penuh kasih, dari air matanya sendiri...
Posting Komentar