NOVEL YAHYA SINWAR - Duri dan Cengkih (Asy-Syauku wal Qaranful) - 7/3

 

Baca sebelumnya ...


Para ayah berlomba-lomba menjamin hidup dan masa depan anak-anak mereka, mendorong arus itu mengalir perlahan-lahan hingga menjadi sesuatu yang wajar, lumrah, dan tak lagi dianggap aneh. Para pejuang—meski berani dan penuh tekad—tak mampu membendungnya, tak kuasa menghentikannya.

 

Setelah jalan-jalan dibelah dari satu sisi, dan lapangan kerja di dalam wilayah dibuka dari sisi lainnya, serta perang sengit yang dilancarkan intelijen dan tentara penjajah terhadap perlawanan—semuanya membuat keadaan perlahan berubah. Tampak jelas, orang-orang mulai merasakan semacam kelegaan. Larangan keluar rumah di pagi hari mulai dilonggarkan lebih dari sebelumnya, agar para buruh bisa berangkat lebih awal ke tempat kerja mereka, dan sampai tepat waktu, setelah menempuh berjam-jam perjalanan dari Tepi Barat dan Jalur Gaza menuju Haifa, Yafa, dan kota-kota lainnya.

 

Tampak nyata bahwa taraf hidup keluarga yang kepala keluarganya bekerja di wilayah proyek mulai membaik sedikit demi sedikit. Tak butuh waktu lama, ada yang mulai mengganti atap rumah—dari genteng ke seng bergelombang; ada yang lain meninggikan pagar rumahnya; ada juga yang lagi memasang pintu besi kokoh di depan rumah; sedang yang lainnya membeli sekarung semen, menciduk pasir kasar dari pantai yang masih menyimpan serpihan kerang, lalu memanggil tukang bangunan untuk meratakan lantai rumahnya. Demikianlah, rumah-rumah di sekitar kami mulai naik tingkat, perlahan namun pasti, satu per satu menampakkan perubahan dan peningkatan. Sementara rumah kami tetap di tempatnya, tak bergeming. Padahal dulu, sebelum perang mengguncang segalanya, rumah kami adalah yang terbaik di lingkungan ini. Kini, ia tampak tertinggal, semakin redup di tengah gemerlap perbaikan rumah-rumah tetangga.

 

Sebagian tetangga, yang keadaan mereka belum mengizinkan perombakan besar pada bangunan rumah, mencari cara seadanya namun penuh daya juang. Mereka menghamparkan lembaran-lembaran besar plastik nilon di atas atap genteng—menutupi atap seluruhnya bagaikan selimut besar yang melindungi dari hujan dan dingin. Ujung-ujungnya mereka lipat rapi, lalu dipaku dengan bilah-bilah kayu tipis, disematkan dengan paku-paku kecil yang diikat kuat oleh tali-temali. Di tiap sisi atap, mereka menempatkan karung-karung pasir—satu di kanan, satu di kiri—agar tak meluncur dari permukaan nilon yang licin. Karung-karung itulah yang menjadi pemberat. Ia menahan nilon agar tak terseret angin, tak terangkat oleh badai, dan tak jatuh menghujam tanah. Begitulah, rumah-rumah kecil di kampung kami tak dibangun dengan kemewahan, tapi dengan akal dan tekad.

 

Proyek sederhana semacam itu tak memakan biaya besar, namun menghadirkan solusi masuk akal bagi masalah kebocoran air hujan yang merembes ke dalam kamar—menyusup hingga ke kasur kami, memaksa kami menaruh wadah-wadah di antara tempat tidur untuk menampung tetesan air saat kami tertidur. Ketika ibu membicarakan hal ini dengan kakakku, Mahmud, dan mereka mengetahui biaya yang diperlukan, keputusan pun diambil: atap kamar rumah kami akan ditutupi nilon. Maka Mahmud membeli nilon, bilah-bilah kayu, dan paku-paku kecil. Ia meminjam palu dari seorang tetangga, juga sebuah tangga. Dua saudaraku, Hasan dan Muhammad, berdiri di sisinya, bahu-membahu membantunya. Penambahan nilon di atap kamar itu menjadi lompatan besar dalam hidup kami pada musim dingin. Sejak malam itu, kami mulai tidur dengan tenang—tanpa bocoran air, tanpa suara tetesan yang jatuh ke dalam wadah, tanpa cipratan kecil yang menyentuh wajah dan membasahi selimut kami. Sebuah kenyamanan kecil, namun terasa seperti keajaiban.

 

Waktu itu aku telah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Sudah menjadi kebiasaan, dokter dari klinik milik UNRWA datang berkunjung ke sekolah dari waktu ke waktu. Ia berkeliling dari satu kelas ke kelas lain, memeriksa keadaan kami—anak-anak kecil yang tumbuh di tengah sempitnya tenda dan debu kamp, sembari mengamati kondisi kesehatan kami yang sering kali terabaikan.

 

Bagi murid-murid yang tampak jelas menderita kekurangan gizi, yang tubuhnya lemah dan kecil secara mencolok, dokter akan mencatat nama mereka. Beberapa hari kemudian, anak-anak itu akan menerima ‘kartu’—sebuah tanda kecil yang memberi izin untuk menikmati satu kali makan di Pusat Gizi (Kesehatan) milik UNRWA yang ada di kamp pengungsi. Suatu hari, dokter itu kembali datang dan berkeliling sekolah seperti biasanya. Saat ia memasuki kelas kami, ia berhenti di hadapanku, menanyakan namaku, lalu menuliskannya di daftar yang dibawanya. Seketika aku tahu—aku akan menerima ‘kartu makanan’. Dan memang, beberapa hari kemudian, aku menggenggam kartu itu di tanganku. Kegembiraanku begitu meluap hingga rasanya kepalaku hampir menyentuh langit-langit. Sebuah kartu kecil… tapi bagiku saat itu, ia lebih berharga dari dunia dan segala isinya.

 

Aku pulang ke rumah membawa kartu itu, mataku berbinar, dan aku langsung mengabarkan kabar gembira itu kepada saudara-saudaraku. Tapi Fatimah—kakakku—meledak marah. Wajahnya memerah, dan ia menyerangku, berusaha merebut kartu dari tanganku sambil berteriak, 'Kita bukan orang miskin!' Aku pun menjerit minta tolong kepada ibu. Ibu memanggil Fatimah dan mencoba menenangkannya. Dengan suara lembut tapi tegas, ibu berkata padanya bahwa tak ada yang memalukan dari menerima kartu makanan. ‘Kita ini pengungsi, Fatimah. Wajar kalau salah satu anak kita menerima kartu bantuan makanan. Bukankah memang sejak dulu hidup kita ditopang oleh UNRWA? Rumah ini rumah bantuan, sekolah dari mereka, klinik juga dari mereka. Dan saat rumah-rumah rakyat dihancurkan, siapa yang membangunkan tempat tinggal bagi mereka kalau bukan UNRWA?!’ Akhirnya Fatimah pun terdiam, melepaskanku dengan enggan. Ia berhenti, tapi dalam diamnya masih tersisa bara, karena hatinya belum sepenuhnya menerima kenyataan itu.

 

Setiap hari, di sela-sela jam pelajaran atau setelahnya, ratusan anak laki-laki dan perempuan berhamburan menuju tempat pembagian makanan. Kami berbaris dalam antrean panjang, masuk satu per satu—setelah saling dorong, berdesakan, dan kadang berselisih mulut di depan pintu ruang makan. Begitu masuk, suasana berubah. Kami dipaksa diam, karena di balik meja duduk kepala pengelola makanan. Ia menerima kartu dari masing-masing kami, mencoret tanggal hari itu, lalu mengembalikan kartu sembari menyerahkan sepotong kecil roti. Lalu kami maju ke depan, di mana seorang pekerja makanan lainnya memberikan nampan baru yang memiliki beberapa lekukan. Di setiap lekukan tersaji jenis makanan yang berbeda—tiga atau empat macam, termasuk buah atau puding susu. Kami membawa nampan itu menuju ruang makan. Di sana, meja-meja tersusun rapi dengan kursi-kursi mengelilinginya. Kami duduk dan mulai menyantap makanan lezat itu dengan penuh kenikmatan. Setelah selesai, kami membawa nampan kosong itu dan melemparkannya lewat  jendela dapur, agar bisa dicuci. Kemudian kami keluar lewat pintu keluar. Di pintu itu, selalu berdiri seorang—entah laki-laki atau perempuan—dari staf kesehatan. Mereka memeriksa setiap anak yang keluar, khawatir kalau-kalau ada yang menyelundupkan makanan keluar untuk diberikan kepada orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Makanan itu memang khusus—diberikan berdasarkan pertimbangan kesehatan. Jika ada yang tertangkap menyembunyikan makanan, maka makanan itu akan dirampas dan dilemparkan ke tempat sampah—sebagai pelajaran bahwa makanan itu harus dimakan di dalam, bukan dibawa pulang.

 

Sepupuku Ibrahim adalah sahabat karibku; kami selalu bersama, bagai bayang dan cahaya. Pada suatu hari, tepatnya hari Selasa, ia pergi bersamaku ke tempat pembagian makanan. Kami bersepakat, aku akan mengisi setengah roti bagiannya dengan daging kiftah, sebab hari Selasa memang hari khusus untuk kiftah. Aku membawa serta selembar plastik nilon kecil, sebuah senjata rahasia kami untuk menyimpan ‘harta’ kecil itu—agar makanan itu tidak hilang begitu saja.

 

Bersambung ...

Penerjemah : Nidda, Editor : Sabilillah

 

 

 


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama