Para ayah berlomba-lomba menjamin hidup dan masa depan anak-anak mereka,
mendorong arus itu mengalir perlahan-lahan hingga menjadi sesuatu yang wajar,
lumrah, dan tak lagi dianggap aneh. Para pejuang—meski berani dan penuh
tekad—tak mampu membendungnya, tak kuasa menghentikannya.
Setelah jalan-jalan
dibelah dari satu sisi, dan lapangan kerja di dalam wilayah dibuka dari sisi
lainnya, serta perang sengit yang dilancarkan intelijen dan tentara penjajah
terhadap perlawanan—semuanya membuat keadaan perlahan berubah. Tampak jelas,
orang-orang mulai merasakan semacam kelegaan. Larangan keluar rumah di pagi
hari mulai dilonggarkan lebih dari sebelumnya, agar para buruh bisa berangkat
lebih awal ke tempat kerja mereka, dan sampai tepat waktu, setelah menempuh
berjam-jam perjalanan dari Tepi Barat dan Jalur Gaza menuju Haifa, Yafa, dan
kota-kota lainnya.
Tampak nyata bahwa
taraf hidup keluarga yang kepala keluarganya bekerja di wilayah proyek mulai
membaik sedikit demi sedikit. Tak butuh waktu lama, ada yang mulai mengganti
atap rumah—dari genteng ke seng bergelombang; ada yang lain meninggikan pagar
rumahnya; ada juga yang lagi memasang pintu besi kokoh di depan rumah; sedang
yang lainnya membeli sekarung semen, menciduk pasir kasar dari pantai yang
masih menyimpan serpihan kerang, lalu memanggil tukang bangunan untuk meratakan
lantai rumahnya. Demikianlah, rumah-rumah di sekitar kami mulai naik tingkat,
perlahan namun pasti, satu per satu menampakkan perubahan dan peningkatan.
Sementara rumah kami tetap di tempatnya, tak bergeming. Padahal dulu, sebelum
perang mengguncang segalanya, rumah kami adalah yang terbaik di lingkungan ini.
Kini, ia tampak tertinggal, semakin redup di tengah gemerlap perbaikan
rumah-rumah tetangga.
Sebagian tetangga,
yang keadaan mereka belum mengizinkan perombakan besar pada bangunan rumah,
mencari cara seadanya namun penuh daya juang. Mereka menghamparkan
lembaran-lembaran besar plastik nilon di atas atap genteng—menutupi atap
seluruhnya bagaikan selimut besar yang melindungi dari hujan dan dingin.
Ujung-ujungnya mereka lipat rapi, lalu dipaku dengan bilah-bilah kayu tipis,
disematkan dengan paku-paku kecil yang diikat kuat oleh tali-temali. Di tiap
sisi atap, mereka menempatkan karung-karung pasir—satu di kanan, satu di
kiri—agar tak meluncur dari permukaan nilon yang licin. Karung-karung itulah
yang menjadi pemberat. Ia menahan nilon agar tak terseret angin, tak terangkat
oleh badai, dan tak jatuh menghujam tanah. Begitulah, rumah-rumah kecil di
kampung kami tak dibangun dengan kemewahan, tapi dengan akal dan tekad.
Proyek sederhana
semacam itu tak memakan biaya besar, namun menghadirkan solusi masuk akal bagi
masalah kebocoran air hujan yang merembes ke dalam kamar—menyusup hingga ke
kasur kami, memaksa kami menaruh wadah-wadah di antara tempat tidur untuk
menampung tetesan air saat kami tertidur. Ketika ibu membicarakan hal ini
dengan kakakku, Mahmud, dan mereka mengetahui biaya yang diperlukan, keputusan
pun diambil: atap kamar rumah kami akan ditutupi nilon. Maka Mahmud membeli
nilon, bilah-bilah kayu, dan paku-paku kecil. Ia meminjam palu dari seorang
tetangga, juga sebuah tangga. Dua saudaraku, Hasan dan Muhammad, berdiri di
sisinya, bahu-membahu membantunya. Penambahan nilon di
atap kamar itu menjadi lompatan besar dalam hidup kami pada musim dingin. Sejak
malam itu, kami mulai tidur dengan tenang—tanpa bocoran air, tanpa suara
tetesan yang jatuh ke dalam wadah, tanpa cipratan kecil yang menyentuh wajah
dan membasahi selimut kami. Sebuah kenyamanan kecil, namun terasa seperti
keajaiban.
Waktu itu aku telah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Sudah
menjadi kebiasaan, dokter dari klinik milik UNRWA datang berkunjung ke sekolah
dari waktu ke waktu. Ia berkeliling dari satu kelas ke kelas lain, memeriksa
keadaan kami—anak-anak kecil yang tumbuh di tengah sempitnya tenda dan debu
kamp, sembari mengamati kondisi kesehatan kami yang sering kali terabaikan.
Bagi murid-murid yang
tampak jelas menderita kekurangan gizi, yang tubuhnya lemah dan kecil secara
mencolok, dokter akan mencatat nama mereka. Beberapa hari kemudian, anak-anak
itu akan menerima ‘kartu’—sebuah tanda kecil yang memberi izin untuk menikmati
satu kali makan di Pusat Gizi (Kesehatan) milik UNRWA yang ada di kamp
pengungsi. Suatu hari, dokter itu kembali datang dan berkeliling
sekolah seperti biasanya. Saat ia memasuki kelas kami, ia berhenti di
hadapanku, menanyakan namaku, lalu menuliskannya di daftar yang dibawanya.
Seketika aku tahu—aku akan menerima ‘kartu makanan’. Dan memang, beberapa hari
kemudian, aku menggenggam kartu itu di tanganku. Kegembiraanku begitu meluap
hingga rasanya kepalaku hampir menyentuh langit-langit. Sebuah kartu kecil…
tapi bagiku saat itu, ia lebih berharga dari dunia dan segala isinya.
Aku pulang ke rumah
membawa kartu itu, mataku berbinar, dan aku langsung mengabarkan kabar gembira
itu kepada saudara-saudaraku. Tapi Fatimah—kakakku—meledak marah. Wajahnya
memerah, dan ia menyerangku, berusaha merebut kartu dari tanganku sambil
berteriak, 'Kita bukan orang miskin!' Aku pun menjerit minta
tolong kepada ibu. Ibu memanggil Fatimah dan mencoba menenangkannya. Dengan
suara lembut tapi tegas, ibu berkata padanya bahwa tak ada yang memalukan dari
menerima kartu makanan. ‘Kita ini pengungsi, Fatimah. Wajar kalau salah satu
anak kita menerima kartu bantuan makanan. Bukankah memang sejak dulu hidup kita
ditopang oleh UNRWA? Rumah ini rumah bantuan, sekolah dari mereka, klinik juga
dari mereka. Dan saat rumah-rumah rakyat dihancurkan, siapa yang membangunkan
tempat tinggal bagi mereka kalau bukan UNRWA?!’ Akhirnya Fatimah pun
terdiam, melepaskanku dengan enggan. Ia berhenti, tapi dalam diamnya masih
tersisa bara, karena hatinya belum sepenuhnya menerima kenyataan itu.
Setiap hari, di
sela-sela jam pelajaran atau setelahnya, ratusan anak laki-laki dan perempuan
berhamburan menuju tempat pembagian makanan. Kami berbaris dalam antrean
panjang, masuk satu per satu—setelah saling dorong, berdesakan, dan kadang
berselisih mulut di depan pintu ruang makan. Begitu masuk, suasana
berubah. Kami dipaksa diam, karena di balik meja duduk kepala pengelola
makanan. Ia menerima kartu dari masing-masing kami, mencoret tanggal hari itu,
lalu mengembalikan kartu sembari menyerahkan sepotong kecil roti. Lalu kami
maju ke depan, di mana seorang pekerja makanan lainnya memberikan nampan baru
yang memiliki beberapa lekukan. Di setiap lekukan tersaji jenis makanan yang
berbeda—tiga atau empat macam, termasuk buah atau puding susu. Kami membawa nampan itu menuju ruang makan. Di sana, meja-meja
tersusun rapi dengan kursi-kursi mengelilinginya. Kami duduk dan mulai
menyantap makanan lezat itu dengan penuh kenikmatan. Setelah selesai, kami
membawa nampan kosong itu dan melemparkannya lewat jendela dapur, agar
bisa dicuci. Kemudian kami keluar lewat pintu keluar. Di pintu itu, selalu berdiri seorang—entah laki-laki atau
perempuan—dari staf kesehatan. Mereka memeriksa setiap anak yang keluar,
khawatir kalau-kalau ada yang menyelundupkan makanan keluar untuk diberikan
kepada orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Makanan itu memang
khusus—diberikan berdasarkan pertimbangan kesehatan. Jika ada yang tertangkap
menyembunyikan makanan, maka makanan itu akan dirampas dan dilemparkan ke
tempat sampah—sebagai pelajaran bahwa makanan itu harus dimakan di dalam, bukan
dibawa pulang.
Sepupuku Ibrahim
adalah sahabat karibku; kami selalu bersama, bagai bayang dan cahaya. Pada
suatu hari, tepatnya hari Selasa, ia pergi bersamaku ke tempat pembagian
makanan. Kami bersepakat, aku akan mengisi setengah roti bagiannya dengan
daging kiftah, sebab hari Selasa memang hari khusus untuk kiftah. Aku membawa serta selembar plastik nilon kecil, sebuah senjata
rahasia kami untuk menyimpan ‘harta’ kecil itu—agar makanan itu tidak hilang
begitu saja.
Posting Komentar