NOVEL YAHYA SINWAR - Duri dan Cengkih (Asy-Syauku wal Qaranful) - 7/2

 

Baca sebelumnya ...

Dan memang begitu adanya. Setiap pagi, sejak fajar pertama merekah di langit, ibu sudah membangunkan Mahmoud. Begitu pengumuman pencabutan jam malam terdengar, ia langsung bergegas keluar menuju pasar— pasar induk di pusat kota. Dengan tiga atau empat lira di saku, ia membeli apa saja yang memungkinkan: sayuran seadanya, apa pun yang bisa ia bawa kembali. Lalu ia kembali ke sudut pasarnya, menata sayur-mayur di atas bentangan kain lusuhnya, lalu mulai menjajakan dagangan— dengan suara lelah tapi penuh harap. Menjelang zuhur, ia mengumpulkan sisa-sisa sayuran yang belum terjual dan membawanya pulang, untuk dimasak dan dimanfaatkan oleh ibu di rumah. Dan setiap hari, dari hasil berdagang itu, mereka menyisihkan sedikit: dua puluh qirsh, atau seperempat lira. Tak banyak… tapi cukup untuk membangun harapan. Setiap hari—sedikit demi sedikit—mimpi itu ditabung.


Larangan keluar rumah di siang hari sering kali diberlakukan—berulang dari waktu ke waktu. Namun para tetangga tetap membutuhkan sayuran yang dibeli Mahmoud setiap pagi. Maka meskipun jam malam diumumkan, tak satu pun dagangan Mahmoud yang terbuang sia-sia. Karena begitu larangan diberlakukan, bukan pasar yang ia datangi—melainkan rumah. Berdirilah kios kecil itu di dalam gang-gang kampung. Dan dari lorong sempit ke lorong yang lain, Mahmoud membawa sayuran ke tangan-tangan para ibu, ke meja makan para keluarga. Ia berjalan tanpa takut pada tentara pendudukan— karena mereka takut masuk ke kamp pengungsi. Takut pada jebakan. Takut pada lorong sempit yang bisa menelan mereka hidup-hidup. Takut pada mata-mata yang mengintai dari balik jendela, dan tangan-tangan para pejuang yang senantiasa siap menyambut mereka dengan peluru dan perangkap. Perlawanan dan aksi-aksi gerilyawan kian menguat. Dan para komandan militer mulai sadar— bahwa padatnya kamp-kamp, dan sempitnya gang-gang yang tak bisa dilewati tank atau jip, menjadi mimpi buruk bagi mereka. Maka mulailah muncul rencana: membelah kamp menjadi bagian-bagian kecil, dengan jalan-jalan lebar yang memungkinkan pasukan mereka masuk, mengurung, menyisir, dan mengisolasi.

 

Dan benar saja, pada suatu hari, diberlakukanlah kembali jam malam di kamp. Pasukan besar tentara datang, seolah-olah sedang memulai pendudukan baru. Di antara para serdadu itu, ada yang membawa ember cat merah dan kuas-kuas besar. Mereka mulai mencoret tembok rumah-rumah: membuat tanda “X” besar berwarna merah pada beberapa dinding. Pada dinding lain, mereka menggambar garis lurus ke bawah, lalu mengukur… dan kemudian menambahkan sebuah “X” kecil di ujungnya. Setelahnya, mereka mulai membagikan surat-surat pemberitahuan kepada pemilik rumah. Surat itu berisi perintah— bahwa rumah-rumah yang bertanda “X” besar akan dihancurkan seluruhnya. Dan rumah-rumah yang bergaris vertical serta bertanda “X” kecil— akan dihancurkan sebagian. Begitu surat itu berpindah tangan, meledaklah tangis. Teriakan. Amarah. Makian. Di mana mereka akan tinggal?! Kemana mereka akan pergi dengan anak-anak, dengan istri dan orang tua mereka?. Apakah mereka akan kembali lagi ke jalanan, seperti pertama kali mereka terusir dari rumah leluhur mereka?! Apakah mereka harus menata hidup dari reruntuhan,  sekali lagi?

 

Untungnya, rumah kami tak tersentuh oleh rencana jalan baru. Tak ada tanda merah, tak ada garis. Tak satu pun jejak kuas prajurit melekat di dinding kami. Kini sudah jelas: rumah kami akan menghadap ke jalan raya yang lebar, bukan lagi ke gang sempit yang menyimpan bisik dan bayang. Namun, rumah tetangga kami…akan hancur seluruhnya.

 

Dan tampaknya, itu adalah keberuntungan yang paling besar bagi saudaraku Mahmoud sebab, andai rumah kami ikut hancur, walau hanya sebagian, semua yang telah ditabung Mahmoud dengan susah payah demi studinya di Mesir, tak akan cukup untuk menambal reruntuhan. Tak akan cukup untuk memperbaiki tembok yang retak, apalagi untuk menyewa tempat tinggal baru. Dan tak mungkin lagi ia melangkah ke universitas impiannya… yang selama ini hanya ia lihat dari balik matahari Gaza,

dan dari peluh yang jatuh ke bumi sebelum fajar.

 

Meninggalkan Gaza…dan membiarkan kami terlempar ke jalanan—begitulah akhirnya, andai nasib tidak berpihak. Namun, Allah mencintainya—dan mencintai ibuku yang malang, seperti yang sering kudengar dari bisikan mereka berdua saat berbicara lirih di pojok malam. Beberapa hari kemudian, datanglah si pengunyah besi—buldoser raksasa— diiringi gelombang tentara bersenjata. Mata mereka dingin, langkah mereka berat seperti takdir. Mereka mengumumkan perintah tegas: rumah-rumah yang telah ditandai harus dikosongkan segera. Lalu buldoser mulai bergerak… menggiling rumah-rumah seperti raksasa menggerus tulang mangsanya. Dan saat tembok demi tembok runtuh, hati ratusan pria, wanita, dan anak-anak pun ikut tercabik— mereka berdiri kembali di pinggir jalan, terlunta-lunta untuk kedua, ketiga, kesekian kalinya…. Seolah tanah ini tak pernah memberi tempat bagi yang setia kepadanya.

 

Buldoser itu terus mondar-mandir di dalam kamp, bergerak perlahan namun pasti, seperti ajal yang tahu persis ke mana ia akan menjemput. Dan setiap kali ia datang atau pergi, seorang lelaki pun roboh, seorang perempuan tersungkur, menarik rambutnya, menampar pipinya sendiri dengan jerit yang membelah dada. Kadang seorang ayah— dengan tubuh renta namun hati sekeras tanah yang diinjaknya— berdiri menghadang di depan buldoser, menghamparkan tubuhnya seperti perisai, demi melindungi atap reyot yang menaungi anak-anaknya. Namun yang ia terima hanyalah pukulan brutal dari para tentara, pukulan yang tak hanya menghantam tulangnya— tetapi menghancurkan makna rumah… makna harapan.

 

Menjelang senja, ratusan kisah duka kembali terkuak dari liang luka yang belum sempat sembuh. Orang-orang tak punya pilihan selain mengais kembali sisa-sisa ketabahan dan menjahit luka sesame dengan air mata yang saling dipinjamkan. Rumah pamanku—yang telah lama kosong sejak anak-anaknya menikah dan pindah—kini hanya dihuni oleh Hassan dan Ibrahim bersama kakekku di satu kamar kecil. Ibuku, membuka pintu rumah itu untuk dua keluarga tetangga yang kehilangan segalanya. “Tinggallah sementara di sana,” katanya. Dan jangan tanyakan tentang hujan ucapan terima kasih yang mengalir ke rumah kami, bagai doa-doa yang jatuh dari langit penuh luka. Keesokan harinya, datanglah para utusan Palang Merah— mereka mencatat, memeriksa, bertanya, menyaksikan reruntuhan yang belum dingin dari duka yang masih hidup. Dan sehari setelah itu, petugas dari UNRWA (Badan Bantuan dan Pekerjaan untuk Pengungsi Palestina) menghimpun data, memanggil nama-nama, mencatat nasib yang tercabik. Lalu mereka membawa sebuah berita— berita yang bagi sebagian orang terdengar seperti mukjizat: “Kalian akan dipindahkan… ke rumah-rumah baru… yang sedang dibangun oleh badan PBB di tempat lain”. Dan saat itulah, seperti embun di pagi kemarau, harapan menetes dari langit, langsung ke jantung rakyat yang kelelahan.

 

Mereka mulai mengajukan ratusan pertanyaan- “Kapan kami akan pindah? Di mana? Bagaimana caranya?”. Namun para petugas tak mampu memberi jawaban pasti. Tak butuh waktu lama, sebulan pun belum berlalu, mulailah keluarga-keluarga itu meninggalkan tempat mereka, melangkah menuju rumah-rumah baru  yang dibangun, di lingkungan baru dalam wilayah yang sama, atau bahkan di kota Arish, di mana Israel telah menguasai seluruh wilayah Sinai sejak 1967. Kedua keluarga yang sempat tinggal di rumah pamanku juga pergi selama masa ini, dan setiap keluarga menerima rumah baru sebagai pengganti. Namun, pembukaan lapangan kerja di wilayah pendudukan tahun 1948 mengundang kegaduhan besar di tengah rakyat. Tetapi kebutuhan mendesak untuk menghidupi anak-anak mereka, melindungi kehormatan keluarga dalam rumah yang layak— rumah yang pintunya bisa tertutup rapat, dengan pagar yang tinggi telah menutupi pandangan, seolah-olah dunia luar tak berhak tahu apa yang ada di balik tembok— mendorong mereka untuk bekerja di wilayah pendudukan itu, meski penuh risiko dan luka.

 

Kebutuhan akan pendidikan, obat-obatan, mahalnya harga-harga, dan banyak hal lainnya, berkobar lebih kuat dari segala penolakan terhadap pekerjaan itu. Arus kehidupan pun mulai mengalir kembali, menghidupkan kembali hasrat untuk terus bertahan— untuk berkembang, dan menjaga semangat yang tak pernah padam.

 

Bersambung ...

Penerjemah : Nidda, Editor : Sabilillah

 

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama