Menjelang ujian tawjihi, yakni ujian kelulusan sekolah menengah kakakku Mahmoud, yang tinggal beberapa pekan lagi, rumah kami berubah menjadi medan siaga. Ibu mendeklarasikan darurat total. Setiap kali salah satu dari kami meninggikan suara, serentak ibu berteriak — “Jangan berisik! Diamlah! Beri kakakmu Mahmoud ketenangan. Sebentar lagi dia akan hadapi ujian tawjihi!”. Jika ada di antara kami yang mengejar saudara lain di ruang tamu atau lorong rumah — jeritan ibu menggelegar.
Kalau ada barang terjatuh, atau salah satu dari kami mendorong atau mencolek yang lain — seperti kebiasaan kami saat berkumpul melingkari baskom cucian yang dibalik dan dijadikan meja belajar dadakan di malam hari — maka dia akan mendapat ganjaran: tamparan di tengkuk, cubitan di pinggang, atau telinga yang dipelintir tanpa ampun. Karena semuanya, segalanya — demi satu hal: ketenangan untuk Mahmoud belajar.
Dan jika salah satu dari kami ingin menjebak saudaranya agar kena batunya— agar diganjar omelan atau bahkan digebuki ibu—maka permainan rahasia pun dimulai: sebuah kedipan nakal, isyarat mata, atau gerakan wajah jenaka yang sengaja disorongkan ke arah korban. Seringkali, sasaran empuk dari sandiwara ini adalah adikku perempuan. Ia punya kelemahan yang tak bisa ditahan: tawa.
Dia akan berjuang menahan geli, menekuk wajahnya, menggigit bibirnya, menggenggam perutnya—berharap tawa itu tak meledak.Tapi kami tak kenal ampun. Semakin dia bertahan, semakin gila gaya kami— hingga akhirnya, tawanya meledak seperti bom kecil di ruang belajar.
Dan saat itulah, Ibu—yang tak pernah mau repot menyelidiki siapa pemicu pertama tawa itu—datang dengan tangan terbuka lebar. Plak! Plak! Plak! Beberapa tamparan mendarat ke pipi adikku yang malang. Sementara kami yang sebenarnya biang keladi—tertawa dalam diam, di balik punggung ibu, mencuri kemenangan kecil.
Kami menyelesaikan ujian akhir tahun ajaran. Namun Mahmoud masih terus berkutat dengan bukunya, karena ujian tawjihi selalu datang terlambat, sekira sebulan setelah ujian kami selesai. Dan meski kami telah meletakkan pena, meski kami telah meninggalkan bangku ujian, rumah kami tetap dalam status siaga satu. Kami menanti ujian Mahmoud berakhir lebih lama—lebih mendesak—lebih penuh harap daripada penantian kami terhadap berakhirnya penjajahan. Ya, segenting itu.
Lalu datanglah hari terakhir dari ujian tawjihi. Ketika Mahmoud pulang dari sekolah, kami menyambutnya dengan pesta paling riuh yang pernah disambutkan kepada seorang kakak. Seolah ia kembali dari perang. Seolah ia membawa kabar kemenangan. Kami menghamburkan seluruh tawa, seluruh kegilaan, seluruh kerinduan kami pada kehidupan—yang selama dua bulan kami pendam di dada yang sesak oleh larangan dan keheningan.
Rumah kami pun meledak oleh suara. Teriakan, tawa, jeritan, dentuman kaki. Kami semua menyerbu Mahmoud— anak laki-laki dan perempuan, memukul, menendang, mencubit sejadi-jadinya, melampiaskan semua dendam kecil dua bulan sunyi. Ibu mengawasi dari sudut ruangan, berusaha tampak serius sambil berteriak: "Tinggalkan saudara kalian!". Namun, senyum lebar di wajahnya telah mengkhianati niatnya sendiri. Ia gagal menyembunyikan tawa yang mengintip dari sudut bibir. Dan begitu kami merasa puas melampiaskan pada Mahmoud, kami semua—termasuk Mahmoud—berbalik menyerbu ibu. Kami hujani dia dengan ciuman: di kepalanya, di tangannya, di kakinya. Ibu pura-pura berontak, berusaha menghindar, tapi tubuhnya lemas oleh tawa yang tak mampu ia bendung. Ia tertawa dalam pelukan kami. Dan rumah kami—untuk pertama kalinya dalam dua bulan— benar-benar hidup.
Hasil ujian kami pun diumumkan. Dan kami semua—semua—berhasil naik kelas. Kecuali satu: sepupuku Hasan, yang gagal di kelas dua menengah. Namun euforia kemenangan itu belum lengkap. Kami masih harus menanti satu pengumuman yang lebih besar, lebih menentukan, lebih mendebarkan dari semuanya: hasil ujian tawjihi Mahmoud. Dan pada hari yang dinanti-nanti itu— hari ketika hasil tawjihi diumumkan di seluruh negeri— rumah kami kembali mengangkat panji: "Keadaan Darurat."
Keadaan darurat kembali diberlakukan kali ini lebih serius, lebih tegang, lebih sarat harap. Hari itu terasa panjang, seolah waktu menolak bergerak. Hingga akhirnya— Mahmoud pulang. Wajahnya berseri-seri, matanya menyala, kebahagiaan memancar dari setiap pori-porinya. Hampir saja ia meledak karena tak kuat menahan kabar itu. Ia membuka pintu rumah dengan satu ledakan kata:
"Ibu… nilaiku 92!"
Dan seketika, setetes air mata tajam jatuh dari pipi ibu— tajam seperti pisau yang memotong sunyi dan ketegangan dua bulan terakhir. Lalu meledaklah sorakan kegembiraan khas ibu: pekik kemenangan menggema di seluruh rumah!. Kami pun mengulang pesta—lebih heboh dari sebelumnya. Teriak, tawa, tangis bahagia berpadu dalam satu simfoni keluarga. Karena keberhasilan dan kecemerlangan Mahmoud—bukan miliknya seorang. Itu adalah keberhasilan kami semua. Masing-masing dari kami telah membayar bagian dari harga itu: dalam diam, dalam larangan bermain, dalam cubitan, dalam tawa yang ditahan, dalam malam-malam sunyi di sekitar baskom cuci.
Ibu langsung melesat ke dapur. Ia merebus biji halba yang aromanya tajam dan hangat, mengaduk tepung dan gula dengan air rebusannya, lalu menyiapkan adonan manis khas kemenangan: kue halba. Ia menuangkannya ke loyang besar, dan Mahmoud, sang pahlawan hari itu, membawanya ke tungku umum di ujung gang— roti kemenangan akan dipanggang di sana. Ketika ia kembali dengan loyang panas dan harum yang menggoda, kami sudah tak sabar. Tak menunggu ibu mengambil piring dari dapur, kami menyerbunya dari segala penjuru seperti lebah berebut sarang madu. Ibu melambaikan tangannya, pura-pura mengusir: "Jangan sentuh! Tunggu dulu!". Gerakannya seperti hendak memukul tangan-tangan kecil yang mencuri, tapi tak pernah benar-benar memukul. Namun dalam kekacauan itu, ia berhasil menyelamatkan beberapa piring. Satu per satu ia sodorkan kepada para tetangga dan kerabat yang datang membawa doa dan ucapan selamat. Sore itu, rumah kami bukan sekadar rumah— ia adalah perjamuan kemenangan.
Kakek jatuh sakit, sakit yang berat dan kelihatan jelas… ajal seakan mulai mendekat perlahan. Ia jarang sekali keluar dari kamarnya, hampir tak lagi sanggup menapakkan kaki ke masjid— kecuali pada hari Jumat. Ia juga tak lagi menghadiri majelis harian yang biasa digelar oleh para lelaki kampung di lapangan kecil yang sudah dikenal semua orang. Mungkin, kegagalan Hasan dalam ujian turut menambah beban hatinya. Kesedihan seakan menambat tubuhnya yang renta. Ia tak lagi punya selera untuk ikut serta dalam kebahagiaan kami, dalam perayaan kecil, dalam gurauan keluarga. Namun malam itu, kami semua berkumpul di sisinya. Kami begadang semalaman, berusaha menghiburnya dengan canda canda kecil, berusaha mencuri senyum dari wajahnya yang lelah. Kami ingin menjadi cahaya bagi hatinya yang mulai redup. Sementara itu, Mahmoud harus bersabar. Ia harus menunggu musim liburan musim panas dan menanti satu tahun penuh setelah tamat dari sekolah menengah agar bisa mendaftar ke universitas-universitas di Mesir. Tapi waktu menunggu itu bukan waktu yang terbuang. Justru itulah peluang emas baginya— untuk bekerja, menabung, mengumpulkan secuil demi secuil bekal yang akan ia bawa dalam perjalanannya nanti, menuju negeri sungai Nil dan bangku perkuliahan.
Bekerja di tanah yang diduduki sejak 1948 adalah gagasan yang sepenuhnya ditolak. Itu prinsip yang tak bisa ditawar— tak bisa dijual dengan lembaran upah. Karena itu, Mahmoud harus tetap bekerja di pabrik milik paman, sambil mencari-cari peluang kerja tambahan lainnya yang bisa memberinya uang—meski sedikit demi sedikit, asal cukup untuk membeli kertas-kertas putih impiannya: lembaran kuliah. Ia berpikir. Dan ibu berpikir bersamanya. Lama. Diam-diam. Dalam-dalam. Akhirnya, mereka sampai pada sebuah keputusan:
Mahmoud akan berhenti dari pekerjaan di pabrik paman. Sebagai gantinya, saudaraku Muhammad akan mengambil alih tempat itu. Maka kini, kedua saudaraku—Hasan dan Muhammad— menjadi tulang punggung kecil yang bekerja di pabrik paman. Sementara Mahmoud— akan mencurahkan tenaganya untuk pekerjaan yang lebih serius, lebih menjanjikan, lebih menguntungkan. Itulah jalan sunyi yang ia pilih untuk mengejar Mesir, dan segala mimpi yang tertulis di dinding kampus-kampusnya.
Ide awalnya adalah memulai usaha yang tidak membutuhkan modal besar. Mahmoud memutuskan untuk membuka sebuah kios sayur di sudut pasar sayur di kampung kami. Hanya butuh beberapa lira sebagai modal awal, dan keuntungan yang didapat memang tak besar— hanya cukup untuk bertahan sehari demi sehari. Namun dengan ketekunan dan kerja keras, menabung sedikit demi sedikit, dari hari ke hari, bulan ke bulan, selama lebih dari setahun, ia yakin bisa mengumpulkan jumlah yang cukup berarti.
Penerjemah : Nidda, Editor : Shofi
Posting Komentar