SEBUAH NOVEL PERJUANGAN DARI YAHYA SINWAR - 6/3

 

Baca sebelumnya ...

Dari titik itu—dari pusat desa yang sunyi—ia menaiki salah satu dari sedikit mobil yang melintasi jalanan kampung, menuju kota Hebron. Perjalanan itu panjang, bukan hanya oleh jarak, tapi oleh harap dan getir yang menumpuk di dadanya. Ia berjalan kaki menempuh jarak yang tak singkat, melewati lorong-lorong kota tua, hingga akhirnya tiba di gedung besar yang memayungi dua wajah sekaligus: Penjara Hebron dan kantor kekuasaan militer penjajah. Di sana, kerumunan telah memadat. Ratusan keluarga telah tiba sebelum dirinya, masing-masing membawa nama yang dikasihi—anak, suami, saudara—yang tertawan dalam sunyi penjara. Bibiku berdiri di antara barisan para perempuan, menggenggam erat kartu identitasnya seperti menggenggam satu-satunya izin untuk mencintai dalam dunia yang melarang kasih sayang. Ia menanti gilirannya. Mungkin kali ini ia termasuk dalam rombongan yang diizinkan masuk. Tapi bisa jadi, sang penjaga akan mengumumkan bahwa rombongan telah penuh. Maka ia harus menunggu lagi, bersama debur waktu yang lamban dan kelelahan yang tak mau pergi, sampai giliran rombongan berikutnya dimulai.


Saat akhirnya tiba di celah sempit di tembok itu, bibiku menyodorkan kartu identitasnya—tangannya terulur melalui lubang batu yang kasar—kepada penjaga yang bersembunyi di balik dinding dingin itu. Di balik tembok, sang penjaga mengamati, memeriksa, mencatat, lalu—tanpa sepatah kata—pintu besi di sampingnya terbuka, dan ia pun masuk ke bagian wanita. Di sana, seorang tentara perempuan menyambutnya dengan tatapan angkuh dan sikap yang sengaja memancing marah. Tubuh bibiku diperiksa secara menyakitkan dan merendahkan. Tapi ia menahan diri—ia menelan amarahnya bulat-bulat. Ia tahu, kehilangan kendali berarti kehilangan kunjungan. Dan di balik jeruji sana, Abu Abdul Rahim pasti sedang menantinya—penuh rindu yang tak tertahankan, kepada istrinya, kepada anaknya, kepada dunia yang pernah hangat. Apa arti harga diri jika rindu harus dipertaruhkan?. Apa gunanya membalas hinaan jika pertemuan sebentar saja bisa menghidupkan hati yang nyaris mati?. Maka ia diam, seperti batu karang yang dipukul ombak tapi tak rubuh. Setelah pemeriksaan itu selesai, para pengunjung dikumpulkan dalam sebuah ruang. Lalu mereka digiring—pelan dan hening—menyusuri lorong-lorong panjang yang sempit dan redup. Setiap langkah seperti masuk lebih dalam ke jantung kesepian. Akhirnya mereka tiba di ruang kunjungan: sebuah dinding besar dengan lubang-lubang seperti jendela, dibatasi jeruji besi yang dingin dan tak bersahabat. Di balik tiap jeruji, berdiri seorang tahanan. Para keluarga pun mulai mencari, seperti mencarikan nama dalam lautan wajah. Ketika menemukan orang tercinta, mereka segera menghampiri jeruji itu, menempelkan wajah, menumpahkan air mata. Seorang ayah berdiri terpaku, matanya berlinang saat menatap anak yang tak bisa ia peluk. Seorang ibu, atau istri, menggigit bibirnya menahan jerit, menyaksikan suami atau anaknya di balik pagar besi. Mereka bicara, tapi suara tersendat oleh tangis. Mereka melihat, tapi tak bisa menyentuh. Dan jauh di lubuk hati mereka bertanya: apa yang terjadi padamu di balik tembok-tembok beku ini yang tak kenal kasih, tak tahu ampun?.


Belum sempat para pengunjung menarik napas dari lelah perjalanan panjang, dari penantian yang menggerogoti sabar, dari pemeriksaan yang mengoyak harga diri dan lorong-lorong penjara yang menggiring mereka ke dalam sunyi; belum sempat hati mereka tenang melihat wajah suami, anak, atau saudara yang mereka rindukan—tiba-tiba terdengarlah suara tangan para sipir bertepuk keras di belakang para tahanan, diiringi teriakan bengis: “Waktu kunjungan selesai!”. Dan sebelum mereka sempat menuntaskan kalimat rindu atau menyalurkan setetes air mata, para tahanan diseret satu per satu, dijauhkan dari lubang-lubang jeruji, digiring masuk kembali ke balik pintu besi yang bisu dan dingin, seakan menelan tubuh mereka ke dalam kekosongan tak bertepi. Kegaduhan meledak di ruang perpisahan. Suara-suara terbata. Tangan-tangan mengepal udara. Hati-hati ditinggalkan separuhnya. Suami bibiku—Abu Abdul Rahim—menahan air matanya agar tidak dilihat oleh sipir yang haus menyaksikan kelemahan. Ia menegakkan tubuhnya yang lelah, menelan gejolak batinnya, lalu berseru dengan suara yang dibuat kokoh, “Bersabarlah, tak lama lagi... hanya lima bulan tersisa! Jaga Abdul Rahim baik-baik, jaga rumah kita. Sampaikan salamku kepada semua—keluarga, tetangga, dan orang-orang kampung”. Dan Bibiku, dengan tangan yang gemetar namun teguh, menyeka air matanya dengan ujung kerudung putihnya yang sulamannya mulai pudar dimakan waktu dan air mata. Ia menjawab dengan suara lantang namun bergetar, “Jangan khawatir... yang penting kamu kuat dan jangan banyak pikir. Semoga selamat selalu, ya...!”.


Di lorong-lorong sempit kampung, di sela-sela desa, dan di jantung kamp pengungsian, sel-sel baru mulai tumbuh, menyatu dalam bayang-bayang malam. Di sepanjang kota, desa, dan dusun kecil di Tepi Barat, para pemuda mulai mengisi barisan. Mereka bergerak—diam-diam, penuh keyakinan—menuju lembah-lembah sunyi dan balik gunung-gunung tinggi, tempat mereka melatih tangan dan tekad untuk menyatu dengan senjata. Senjata itu mungkin baru saja mereka terima dari jalur yang sunyi, atau mungkin pula senjata tua, warisan ayah dan kakek mereka, yang selama bertahun-tahun tersembunyi di bawah tanah rumah, di balik dinding, atau di dasar sumur tua—menunggu waktu untuk kembali bicara. Kini, waktu itu terasa dekat. Mereka bersiap. Mereka belajar cara membidik dan menembak, walau dengan keterbatasan alat dan minimnya pengalaman. Tapi bukan itu yang jadi kekuatan utama mereka. Karena yang membakar bukan mesiu, melainkan dada-dada muda yang mendidih seperti kawah. Hasrat mereka tak tertahankan: bertemu wajah musuh, berdiri tegak dengan senjata—betapa pun sederhana—di tangan, dan meneriakkan nama tanah air yang sudah terlalu lama menjerit dalam sunyi.


***

Di toko itu—yang sempit dan dingin pada musim-musim beku—suami bibiku dan Abu Ali biasa bertemu bersama beberapa pedagang lain. Mereka duduk melingkar, menyesap teh panas yang mengepul dari gelas-gelas kaca tipis, sambil mencoba menghangatkan tubuh dan bicara. Percakapan mereka, seperti biasa, berputar di seputar berita perlawanan, penangkapan, dan nasib dua sahabat: suami Bibiku dan Abu Ali. Sebagian pedagang, dengan nada sinis dan penuh hitung-hitungan duniawi, mulai mempertanyakan makna dari semua itu—makna perjuangan, makna keberanian, dan bahkan makna kehilangan kebebasan. “Untuk apa semua ini?”, kata salah satu dari mereka. “Apa hasilnya, selain penjara dan kehancuran usaha?”. Lalu seorang lain mulai berhitung: menghitung hari-hari dalam bulan yang harus dihabiskan oleh suami bibiku di balik jeruji, menghitung kerugian dalam angka. “Tiap harinya dulu ia untung tiga lira Israel”, katanya sambil mengangkat cangkir tehnya, “Itu berarti sudah ratusan lira hilang. Paling tidak lima ratus—dan itu belum termasuk rasa malu, kerepotan, dan nama baik yang tercoreng”. Seolah hidup hanyalah untung dan rugi. Seolah kehormatan dan tanah air bisa ditimbang di neraca pasar. Mereka lupa: ada harga yang tak bisa dihitung dengan uang, dan ada keberanian yang tak bisa dijual, bahkan bila dunia seluruhnya menawarnya.


Keadaan ekonomi yang memburuk—yang menggulung mayoritas rakyat dalam kesempitan dan kelaparan—menjadi pisau bermata dua. Bagi sebagian pemuda Palestina, ia menjadi bara pendorong untuk melawan, bahkan jika jalan itu disebut sebagai “aksi sabotase” oleh lensa musuh. Namun di mata para pemimpin Zionis, kesempitan ini adalah peluang; peluang untuk mengendalikan, menguras tenaga, dan membungkam semangat perlawanan lewat roti dan kerja. Mereka, para arsitek negara penjajah yang baru lahir itu, menyadari bahwa pembangunan tanah rampasan membutuhkan tangan—banyak tangan—untuk mengaduk semen, mengangkat batu, dan menghidupkan mesin. Maka diputuskanlah—dengan kehati-hatian yang penuh kecurigaan dan pemeriksaan keamanan yang ketat—untuk membuka pintu kerja secara bertahap bagi penduduk wilayah pendudukan. Pengumuman itu pun tersebar. Kantor-kantor paspor dan izin mulai dipadati oleh pria-pria yang datang menyerahkan permohonan: sebuah kertas untuk bekerja di wilayah yang dirampas, di antara jalan-jalan kota yang dulu mereka sebut tanah air. Langkah itu, tentu saja, menimbulkan riak keras dalam tubuh masyarakat Palestina. Perdebatan berkecamuk. Antara perut dan prinsip, antara hidup hari ini dan kehormatan tanah yang diinjak musuh, antara nasib keluarga dan suara nurani yang tak ingin tunduk.


Di sudut lapangan kecil di kampung kami—tempat biasa para lelaki duduk menghabiskan waktu, menyeruput cerita dan kabar—perdebatan kembali membara. Di sana, meski sakit-sakitan dan telah dimakan usia, kakekku masih setia hadir dalam “konferensi harian” itu, menyimak dan ikut dalam pusaran pikiran yang tak pernah lelah menggugat nasib. Isu tentang izin kerja di tanah yang dijajah menjadi bara yang dilempar ke tengah lingkaran, menyulut api pendapat yang saling bersilang. Sebagian dengan suara bergetar oleh amarah berkata, “Apakah kita begitu hina hingga tega membangun negara musuh kita sendiri? Sementara tentara-tentara mereka tengah berlatih untuk membunuh anak-anak kita, untuk menyerang negeri kita, dan menggempur sisa-sisa kehormatan umat kita?”. Bagi mereka, bekerja di tanah musuh adalah bentuk paling telanjang dari pengkhianatan. Tak ada penjelasan yang bisa memutihkan dosa itu. Namun suara lain, yang lebih tenang namun tak kalah getir, muncul dari para “realistis”—mereka yang menatap hidup dengan mata terpaksa. “Israel telah berdiri”, kata mereka lirih namun mantap. “Tak akan runtuh hanya karena ratusan atau ribuan buruh menolak bekerja. Kita harus hidup… harus bertahan… meski dengan menelan pahitnya kenyataan”. Di antara dua suara itu, kakekku hanya terdiam lama. Matanya menatap jauh, seolah melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata—mungkin masa depan, atau mungkin masa lalu yang belum selesai.


Segala perkara, pada akhirnya, harus dilihat dari jendela kebutuhan yang paling mendesak—bahwa di balik dinding-dinding rumah kami yang retak, ada anak-anak menangis kelaparan, ibu-ibu yang tak lagi punya air susu untuk menyusui, dan roti yang tak bisa ditemukan bahkan di dasar kantong yang paling dalam. Maka muncullah suara lirih namun penuh luka: bahwa bekerja di tanah penjajah, meski pahitnya lebih dari empedu, meski langkah kita terhuyung oleh rasa ngeri dan kehinaan, bisa saja—dari sudut pandang lain—menjadi bentuk lain dari perjuangan. Ya, mereka berkata: bukankah menjaga agar rakyat tetap tinggal di kampung dan di kamp pengungsian, dan tidak tercerai-berai oleh kelaparan, adalah bagian dari perlawanan itu sendiri?. Daripada kita dipaksa oleh lapar untuk meninggalkan tanah ini, lebih baik kita bertahan. Meskipun bertahan itu kadang berarti menggenggam cangkul di tanah yang dijarah, dan berkeringat di bawah langit yang dulu pernah bernama Palestina.


Sementara itu, di toko kecil di kota Khalil ar-Rahman, angin pemahaman berembus dari arah berbeda. Di sana, menerima kenyataan bekerja di "Israel" tak lagi dianggap aib yang mutlak. Orang-orang di tempat itu tampaknya lebih fasih dalam bahasa angka dan logika dagang. Bagi mereka, hidup adalah soal hitung-hitungan, dan ketika pintu-pintu kerja dibuka—meski oleh tangan musuh—mereka melihatnya sebagai peluang untuk menggerakkan roda ekonomi, memakmurkan kota, menguatkan sendi-sendi kehidupan, dan—dalam logika mereka—mengokohkan keberadaan rakyat di tanah mereka, sembari menunggu izin Tuhan untuk datangnya perubahan yang lebih besar. Namun di sisi lain, dalam jantung bara perlawanan—terutama di kamp-kamp pengungsian seperti Kamp Syati’—para pejuang memandangnya dengan mata berkaca darah: itu adalah pengkhianatan yang tak bisa ditoleransi. Bekerja di tanah penjajah adalah menampar wajah perjuangan sendiri, dan tak boleh dibiarkan tumbuh jadi kebiasaan. Maka dimulailah penggalian informasi—siapa saja yang telah memperoleh izin kerja. Lalu mereka mengumpulkan izin-izin itu dari tangan para buruh, merobeknya, membakarnya, menguburnya dalam tanah, sembari menjelaskan betapa hal itu mencederai makna sejati dari cinta tanah air. Dan bila kata-kata tak cukup membakar nurani, maka khizran (tongkat rotan) pun bicara—sebuah pukulan di dahi, satu tamparan ke pipi, atau hujanan kata yang membelah harga diri, menjadi pelajaran keras yang tak mudah dilupa.


Di antara mereka, ada seorang buruh yang mencoba membela dirinya, memohon dengan lirih. Ia menolak menyerahkan izin kerjanya, sembari menunjuk ke belakang, ke arah delapan anak-anak dan putri-putrinya yang kelaparan. "Anak-anak ini," katanya, "tidak punya apa-apa untuk makan, dan apa yang diberikan oleh UNRWA (Badan Pengungsi Palestina) tidak lebih dari sekadar janji kosong. Kami sering kali tidur dengan perut kosong, dan hidup kami tak lebih dari sebuah derita yang tak terkatakan”. Dengan mata yang berkaca-kaca, ia memohon kepada para pejuang yang ingin merampas izin kerjanya. "Pahami situasi kami. Tolong biarkan saya bekerja agar saya bisa memberi makan keluarga saya”, ujarnya, suara lemah dan penuh harapan. Namun, mereka yang berdiri di hadapannya tak bergeming. Mata mereka penuh dengan kemarahan dan air mata, mereka memutuskan untuk tetap mengambil izin itu. Mata mereka menatap lelaki itu, melihat betapa besar kontradiksi yang ada di dunia ini—antara penderitaan yang teramat nyata dan kebutuhan mendesak akan hidup yang lebih baik, dan antara idealisme perjuangan dan kenyataan yang tak kenal ampun. Mereka akhirnya merobek izin itu dengan tangan yang sedikit gemetar, hati mereka terbakar oleh dilema ini. Setelah perpisahan yang penuh emosi, mereka pergi, membawa perasaan bersalah yang menyelubungi mereka, menyisakan kebingungan yang sulit diungkapkan.


Bersambung ...

Penerjemah : Nidda, Editor : Shofi

 


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama