YAHYA SINWAR : THISTLE DAN CENGKIH BAB 2 -2/1

Bab : 2

Baca sebelumnya 1/1

Baca sebelumnya 1/2

Hari-hari berlalu. Ayah dan Paman belum kembali, kami juga tidak mendengar kabar apa pun tentang mereka. Kakek, Ibu dan Bibi selalu menanyakan kabar mereka pada setiap orang yang mereka temui, namun tidak membuahkan hasil. Kekhawatiran kami sama seperti kekhawatiran para tetangga; banyak anggota Tentara Pembebasan Palestina atau orang-orang dari kelompok perlawanan rakyat yang hilang. Situasi saat ini seperti halnya semua daerah di Tepi Barat dan Jalur Gaza, berada dalam kondisi putus asa, frustrasi dan kacau. Orang-orang tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.

Setiap pagi, kakek membawa tongkatnya pergi untuk mencari tahu keadaan Ayah dan Paman, kedua putra yang sangat ia cintai. Dia bertanya kepada siapapun yang dia temui tentang keberadaan mereka hingga kelelahan. Sementara Ibu dan Bibi, yang tidak pernah meninggalkan rumah sejak perang berakhir, duduk di dekat pintu menunggu kembalinya kakek dengan rasa takut dan cemas tentang nasib suami mereka yang belum jelas. Semua saudara dan sepupuku sangat menyadari apa yang terjadi, sedangkan aku masih terlalu kecil untuk bisa memahaminya. Ibu dan Bibi dilanda rasa khawatir yang begitu dalam, sampai-sampai kami kurang mendapat perhatiannya. Oleh sebab itu, kakak perempuanku, Fatimah, melakukan beberapa hal seperti menyiapkan makanan dan kebutuhan untuk bebersih badan.

Suatu hari saat matahari hampir tenggelam, kakek kembali dari pencariannya. Ibu membukakan pintu dan menunggu kedatangannya dari jauh. Dia bertopang pada tongkat yang hampir tidak dapat menyangga badannya, dengan menyeret kaki seakan berita yang dibawanya telah membebani hati. Ibu berteriak kepada kakakku, Mahmud, agar berlari untuk menyambutnya. Dia memandangi wajah kakek yang dibanjiri air mata. Meskipun Mahmud berusaha membuat kakek berbicara, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya hingga mereka berdua hampir sampai di muka pintu. Kakek berusaha bersandar di dinding. Namun kakinya tidak mampu lagi menahan tubuhnya yang renta, sehingga ia terjatuh setelah langkah pertamanya memasuki rumah. Ibu dan Bibi bangkit membantu dan bertanya-tanya berita apa saja yang kakek dapat. "Apa saja yang telah terjadi?" Mereka berdua mulai gemetar ketakutan dan panik. Kakek bukan hanya tak mampu berbicara, bahkan seolah tak ada daya untuk bergerak. Mereka memapahnya masuk ke kamar dan mendudukkannya di dipan. Semua berkumpul di sekelilingnya, menunggu setiap kata yang akan keluar dari mulutnya.

Ibu memberinya kendi berisi air, lalu kakek memeganginya. Namun ia tak mampu mengangkat kendi itu, sehingga Ibu harus membantunya untuk meneguk beberapa seruput air. Tatapan kakek mengarah pada Bibi. Hal ini menandakan dari berita yang didapatkannya, keadaan Paman lebih mengkhawatirkan dibanding Ayah. Rasa penasaran Bibi semakin menjadi. Dia bertanya dengan nada memohon, “Bagaimana keadaannya, Ayah?” "Keadaanya baik, insya Allah." Namun seketika tangis kakek pecah saat berusaha menenangkan diri dan mengendalikan emosinya, hingga Bibi ikut menangis dan mengerti apa yang tidak bisa diungkapkan oleh Kakek. Bibi lalu berteriak, “Apakah suamiku telah meninggal?” Kakek mengangguk membenarkan hal ini. Tak berselang lama, suara ratapan serta jeritan Bibi terdengar semakin keras dan dia mulai menjambaki rambutnya. Ibu juga mulai menangis, namun tetap tenang. Ibu berusaha menghibur Bibi yang terus-menerus meratap, “Suamiku meninggal... suamiku meninggal...." "Dia tidak meninggal Ummu Hasan, tetapi syahid!" Dua sepupuku, yakni Hasan dan Ibrahim pun menangis. Tidak ketinggalan, semua kakaku juga menangis, sementara aku tetap di tempat dan tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Kakakku, Mahmud, keluar untuk melihat siapa yang mengetuk. Ternyata sekelompok tetangga mendengar jeritan dan ratapan Bibi. Mereka datang untuk mengetahui apa yang terjadi. Mereka ingin mendapat bagian dari kesedihan yang kami alami. Ruangan dipenuhi oleh tetangga yang berkerumun dan aku tenggelam di antara kaki-kaki yang berdesakan sementara suara tangisan dan ratapan semakin bergemuruh.

Hari-hari berlalu dan tiada berita tentang nasib Ayah. Orang terakhir yang melihatnya memastikan bahwa Ayah masih hidup saat Israel menduduki kota. Dikabarkan, dia dan kelompoknya dari anggota perlawanan rakyat bergerak mundur ke arah selatan. Selain itu tidak ada kabar terbaru lagi. Kakekku, setelah melewati hari-hari berkabung untuk Paman yang semoga Allah merahmatinya, memulai lagi perjalanannya untuk mencari berita tentang nasib Ayah, namun tidak juga mendapat jawaban.

Hari demi hari, akhirnya kakek sampai pada kesimpulan bahwa dia memang harus menunggu. Dia sudah menyerah untuk mencari berita tentang Ayah dan memutuskan untuk menanti. Jika berita itu ada, pasti akan sampai juga padanya. Semua orang harus menunggu dan kami tidak tahu keberadaan Ayah. Seiring berjalannya waktu, kehidupan terus berubah dan setiap orang harus beradaptasi dengan realita yang baru. 

Sekolah kembali dibuka. Semua kakak dan sepupuku mulai bersekolah lagi. Di pagi hari, Ibu dan Bibi bangun untuk mempersiapkan anak-anaknya berangkat sekolah. Ya, mereka berangkat bersama. Adapun aku, adik perempuan, dan Ibrahim sepupuku, tetap tinggal di rumah.

Selama hari itu, kakek keluar rumah dan terkadang kembali dengan membawa sedikit sayuran, seperti beberapa tomat, bayam, atau sedikit terung agar dimasak oleh Ibu atau Bibi untuk disajikan pada anak-anak sepulang sekolah. 

Setiap pagi, Ibu atau Bibi akan membawa tempayan dan ketel untuk diletakkan pada antrian pengisian air dari keran yang telah ditempatkan oleh lembaga bantuan di lapangan kampung kami. Air akan datang dua atau tiga jam sehari. Siapa yang mendapat giliran bisa mengisi wadahnya dengan air. Bagi yang tidak mendapat giliran harus menunggu keesokan harinya.

Seringkali salah satu tetangga kami yang terlambat bangun pagi, menaruh tempayannya di awal antrian, ia berusaha mencuri giliran dengan menaruh wadahnya sebelum wadah orang lain. Hal ini menyebabkan pertengkaran terjadi, dimulai dengan kata-kata, "Ini giliranku!" Lalu berkembang menjadi saling mendorong, menjambak, mengumpat dan terkadang sampai memecahkan tempayan tanah liat.

Daerah Hanafiyya adalah penghasil tembikar yang bagus. Selepas saudara-saudaraku dan anak-anak tetangga pulang dari sekolah dan makan siang, mereka akan keluar untuk bermain "Tujuh Pecahan". Mereka membawa keping-keping hasil pecahan tembikar yang berasal dari daerah Hanafiyya, dan menyusun bagian tersebut dari yang terbesar di paling bawah, lalu dilanjutkan dengan ukuran yang lebih kecil, begitu seterusnya hingga tembikar terkecil berada di paling atas. Mereka juga membawa setumpuk kain dan juga satu kaos kaki usang yang biasa dijatahkan pada kami dua kali setahun dari UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East atau Lembaga Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat). Mereka mengisi kaos kaki dengan kain, lalu mengikat dan menjahitnya dalam bentuk bulatan seperti bola yang bisa digenggam tangan.

Selanjutnya, mereka akan terbagi menjadi dua tim. Seorang pemain di salah satu tim (tim pertama) akan melempar bola dari kejauhan ke arah tumpukan pecahan tembikar untuk merobohkannya. Jika berhasil maka anggota tim tersebut akan berlari, sementara salah satu pemain dari tim lawan berdiri di dekat tumpukan pecahan tembikar dan melemparkan bola ke arah mereka yang berlari. Jika bola meleset tidak mengenainya, anggota tim tersebut akan mencari dan mengembalikan bola itu padanya lagi, sementara tim pertama berusaha menyusun kembali pecahan tembikar itu. Jika mereka berhasil, maka mereka meneruskan permainan lagi. Namun jika gagal, mereka berlari menghindari lemparan bola yang telah sampai di area permainan. 

Sedangkan untuk anak perempuan, mereka memainkan permainan engklek. Mereka membawa potongan genting atau batu yang halus di satu sisi dan menggambar tiga kotak berurutan di lantai, masing-masing dengan panjang dan lebar sekitar satu meter, kemudian menggambar lingkaran di atas ketiga kotak tersebut.



Penerjemah : Nidda, Editor : Sabilillah 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama